5 Alasan Kegeraman Jokowi

Hari ini, dan beberapa hari ke depan, akan riuh rendah mengenai kegeraman Jokowi, bahwa lembaga dan kementrian banyak yang mengimpor untuk kebutuhan kementrian dan lembaga negara. Mulai dari seragam TNI-Polri, kertas, dan sebagainya. Fakta baru yang akan menggeser isu dan pro-kontra pawang hujan Mandalika.

Minyak goreng pun kelihatannya sangat mungkin bisa tergeser. Ini bisa iya, bisa tidak, karena kepentingan, terutama oposan tidak memiliki cukup dampak bagi mereka. Sasaran kritik yang disampaikan Presiden Jokowi, tidak cukup menguntungkan bagi mereka, yang terbiasa hanya memikirkan kepentingan mereka, bukan demi perbaikan negara.

Beberapa alasan mengapa lebih memilih import dari pada hasil dari dalam negeri, kira-kira sebagai berikut;

Pertama, mentalitas inferior, feodal, dan gumunan pada hal yang berbau asing. Lihat saja dulu tergila-gila pada  hal yang berbau Barat dan bule. Nama-nama perumahan, menggunakan istilah dan bahasa Inggris. Kini bergeser peristilahan, penamaan, dan pembicaraan dislipin atau bahkan dominasi yang berbau Arab. Ini jangan dikaitkan dengan rasis apalagi agama. Sama sekali bukan.

Dominan anak negeri ini bersikap feodal. Bagaimana kekuasaan itu lebih memiliki previlegi, di mana yang tidak memiliki kekuasaan   dan hak khusus akan pengin dan jadi sangat hormat, respek, dalam konteks demi kepentingannya. Yang penting dekat dengan kekuasaan, sama juga dengan hal yang berbau luar negeri.

Kedua, mentalitas calo, makelar, dan pencari fee. Hal yang miris, ketika banyak di antara elit ini dominasi demikian. Berbeda dengan pengusaha, yang tidak sekadar mencari keuntungan dari selisih harga. Makelar jauh dari mutu seorang pengusaha.

Memilukan, ketika ada di lingkaran elit, baik eksekutif, legeslatif, dan dunia militer-polisi pun tidak lepas dari kebiasaan untuk mendapatkan keuntungan tanpa kerja keras. Padahal bisa lebih gede jika mengusahakan ada produk dan jasa. Namun lebih mudah jadi makelar dan calo.

Ketiga, gaya hidup dan ketamakan. Kita disajikan sinetron, film, hiburan itu selalu kemewahan, tanpa kerja keras. Nah ini menjadi sebuah impian yang sangat mudah dan murah. Calo, makelar, dan mencari fee demi mendapatkan kemewahan.  Tentu bukan masalah kemewahan yang menjadi masalah, namun masalahnya adalah mencari kemewahan namun abai kerja keras. Potong kompas mendapatkan materi demi gaya hidup.

Gaya hidup yang tidak sesuai dengan profilnya. Ini menyeluruh dalam segala lini kehidupan. Mau apapun di mana-mana terjadi dan seolah baik-baik saja. Termasuk korupsi dan suap-menyuap terjadi.

Keempat, penghormatan pada kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan. Abai mengenai hasil dari mana kedudukan, kekayaan, dan kemewahan itu apakah legal atau tidak. Sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Lihat saja maling berdasi masih bisa senyam-senyum, dan juga kita masih mengormati mereka.

Ada ketersalingan, di mana orang yang berkuasa dan kita yang mengormai karena kedudukan, meskipun mereka itu maling, garong sekalipun. Lihat, bagaimana mereka masih dibela mati-matian oleh penggemar, dan juga secara hukum.

Lihat, saja bagaimana hukum sangat lemah. Ini juga jadi gambaran bagaimana kita juga abai dan tidak peduli, bagaimana mereka bisa mendapatkan jabatan, ataupun kekayaan. Jadi, calo. Makelar, dan model mencari fee sangat menjamur.

Berkaitan ini dengan hukum yang lemah. Lihat saja bagaimana   maling anggaran, suap, dan juga korupsi, toh hukumannya ngaco, dagelan, dan juga permainan.  Jadi mereka, yang biasa maling tidak akan takut untuk nyolong, karena nantinya toh masih bisa menggunakan uang untuk mengatur pasal dan hukum.

Kelima, kecintaan pada negara rendah. Bisa dibayangkan, jika negara ini diboikot ekonomi, sebagaimana Iraq, Iran, atau Rusia, negara ini pasti ribet dan ribut. Lihat saja, bagaimana  kecintaan pada negeri ini. Pandemi saja  banyak yang demo. Seolah pemerintah bekerja sendirian. Yang lainnya, terutama oposan, barisan sakit hati pada menggoyang dengan berbagai cara. Termasuk dengan melakukan aksi demo dengan alasan yang mengada-ada.

Kecintaan pada negara saja lemah, apalagi soal  uang, cuan, dan doit, yang sangat enak. Ini masalah klasik yang seolah biasa saja. Tabiat, bahkan sudah membudaya yang penting uang dan mendapatkan penghormatan. Mau negara bangkrut tidak peduli.

Ini mengenai soal kecintaan pada negara. Lihat saja, negara ini digerogoti oleh justru pemimpinnya, yang sangat mudah dikenal dengan bandit demokrasi. Menggunakan demokrasi untuk maling dan menggerogoti negara.

Sumber daya alam yang melimpah itu sangat menggiurkan. Kesempatan untuk para garong memanfaatkan itu untuk kepentingannya sendiri. Sama juga dengan import yang sangat merugikan keberadaan usaha dalam negeri. Hanya demi mendapatkan keuntungan.

Apakah ini baru terjadi? jelas tidak, ini sudah sejak lama, dan hanya Jokowi yang menegur, ini bentuk kepeduliaan. Eh malah dijadikan sasaran demo 253 untuk diinjak-injak, karena junjungannya dikandangin.

Miris, pekerja-pekerja negeri ini dihabisi oleh petualang dan bandit demokrasi yang kran mendapatkan keuntungan dihabisi. Akan semakin banyak serangan ke presiden, termasuk pribadinya.  Maju terus Presiden Jokowi, di tengah anak negeri yang tidak tahu diri.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan