Agamis tapi Bengis

Agamis tapi Bengis

Menyaksikan sebuah tayangan video singkat dalam status media sosial, mengenai keberadaan dokter spesialis yang langka di Indonesia. Menkes menjelaskan panjang lebar bagaimana sulitnya membuka program studi spesialis baru. Swasta hanya satu yang punya. Negeri saja susah, apalagi universitas swasta.

Tampaknya penjelasan itu dalam RDP dengan DPR RI. Artinya forum yang sangat  resmi, penting, dan para petinggi negeri tahu dengan baik apa yang terjadi.

Opini, atau pendapat saya pribadi usai mendengar itu adalah;

Negeri ini begitu gandrung, kalau tidak mau disebut atau mengatakan mabuk agama. Libur keagamaan sepanjang tahun berapa saja. Pembicaraan apapun, politik, hukum, ekonomi, apalagi sosial budaya, pasti agama akan ikut di sana. Padahal negara Pancasila.  Itulah uniknya negeri ini.

Tapi eh tetapi, maling berdasi alias korupsi masih juga merajalela dan tertinggi pula di muka bumi ini.  Tingkat kedisiplinan yang rendah, sikap tanggung jawab yang memprihatinkan, perilaku jujur yag jauh dari harapan, apakah itu cerminan dari petunjuk agama?

Berkaitan dengan susahnya melahirkan dokter spesialis, satu-satunya jalan yang susah ditembus adalah rekomendasi dari kolegium para ahli di bidang itu. Kematian karena stroke itu 350.000 per tahun, karena penyakit jantung 250.000 per tahun, artinya penangannya sangat membutuhkan tenaga ahli.

Pendidikan mahal karena terbentuk kondisi itu, rekomendasi yang susah, bisa jadi orang yang mau menjadi mahasiswa juga pastinya sulit banget.    Birokrasi berbelit yang bisa dinyatakan bahwa menjaga mutu lulusan. Namun apa iya sepenuhnya seperti itu?

Jika benar asumsinya, agar tidak banyak “pesaing” sebagaimana dulu para dukun atau tabib, “nyengker” atau menyembunyikan tanaman-tanaman obat yang sangat mereka pahami. Orang, pasien, tabib lain tidak bisa menangani sehebat dia.  Konsekuensinya adalah dia tenar, namun tanaman itu bisa punah, atau langka.

Nah, apabila itu yang terjadi dalam dunia modern ini kan ironis. Bagaimana sumpah Hiprokrates untuk menolong orang itu malah terhambat. Tidak karena kemampuan, namun karena memang pintu ditutup.

Kemanusiaan, menyembuhkan, dan membantu kan dasar dari agama. Bagaimana orang beragama, selalu menggunakan terminologi agama namun abai dalam membantu, melakukan kebaikan, dan sikap bertanggung jawab atas jabatan yang diemban.

Masih perlu kesadaran terus menerus untuk mampu menjalankan agama sekaligus kemanusiaan. Jangan sampai atas nama agama, tampilan agamis, namun arogan, bahkan merugikan kemanusiaan dan alam ciptaan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan