Ahok dan Jakarta “Tumbal” Nusantara

Pengalaman Ahok dibui dan Jakarta porak poranda dalam segala aspek dan arti, toh menjadi berkat bagi negeri ini. Nusantara sebagai Ibu Kota Negara baru, yang menolak dengan menyebut sebagai tempat jin buang anak dan hanya monyet yang ada dii sana, memberikan gambaran, Semesta telah memilah dan memilih.

Tanpa pemidanaan Ahok, Jakarta akan semakin moncer dan maju. Pasti akan enggan untuk pindah, karena keadaan sebagai kota dunia kata Anies Baswedan terujud. Di tangan gubernur yang mengaku paling hebat dalam kata-kata itu, semua sirna. Banjir kembali menjadi langganan dan makin semrawut karena konsep saja tidak ada.

Sungai yang mau dinaturalisasi  dengan     mengganti istilah normalisasi, hanya bisa  konsep tanpa kerja. Semua balik zaman lampau autopilor, namun anggaran lenyap entah ke mana. Dagelan tiap saat dengan salah input, salah bayar dengan dalih kelebihan bayar, bobrok pokoknya. Mata warga Jakarta dicelikan, bahwa agama bukan jaminan untuk menjadi pemimpin yang bekerja.

Politik ugal-ugalan dan kecelakaan sejarah sempat terjadi. 2017 adalah kelamnya Jakarta namun itu adalah berkat terselubung bagi NKRI. Tanpa politik identitas yang mengantarkan Anies Sandi menjadi penguasa Jakarta, keberadaan FPI, HTI, dan ibu kota yang sudah renta akan tetap sama. Jakarta yang modern di tangan Ahok tentu membuat orang enggan berpikir pindah.

Politisasi agama yang masif di 2017 menyadarkan publik dan elit bahwa itu bahaya. Bisa seperti Suriah, Libia, Irag, Afganistan. Pembubaran PKS dan HTI sejatinya terlambat, karena sudah merasuk ke mana-mana. Penanganan pascapembubaran juga masih setengah hati.

Elit dan beberapa pihak masih berharap dan bahkan menggunakan “jasa” mereka, sehingga tindakan tegas sangat susah. Penangkapan Rizieq dan Munarman  memang membuat mereka gembos di aksi jalanan. Namun, gembar-gembor melalui media sosial dan pernyataan masih cukup masif dan bertambah tokoh-tokoh ngaco yang relatif banyak.

Pelaku yang munafik dengan menggunakan demokrasi, yang sebenarnya mereka antidemokrasi menyulitkan penanganan mereka. Belum lagi barisan sakit hati yang ketahuan kebegoan ketika berkuasa. Juga ada yang takut harta malingan mereka diminta kembali untuk negara.

Brisik yang sama, ketika negara mau memindahkan ibu kota negara ke Nusantara, ribut, ya mereka lagi mereka lagi. Orang dan kelompok yang sama. Biang gaduh tidak berguna, parasit yang merampok negeri ini, namun berlagak paling berjasa bagi negara.

Nusantara adalah kejayaan negeri ini. Tidak perlu memberikan perhatian pada pecundang yang memang sudah bobrok sejak dalam pikiran.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply