Permintaan Anies Mundur dan #Tidak Bisa Kerja Karena Risma dan Nikita
Permainan politik semata. Tetapi bahwa hal ini bergaug di media sosial itu iya. Tiga hal yang terlihat.
Pertama penyuka ratting, pembicaraan besar, tanpa mau tahu baik atau buruk, jelas menerima itu dengan suka cita dan merasa berkat. Pemain politik cemar asal tenar. Ceruknya kecil dan makin kecil ketika FPI telah dibubarkan. Mereka pelaku yang membesarkan dayanya. Biasanya media sosial dan grup percakapan. Satu rantainya terputus, sangat tidak tepat.
Kedua, jelas pihak yang berseberangan, di mana hal ini dinilai sebagai cara meluruskan berita yang selama ini tidak tepat. Mirisnya, akhirnya sama saja. Hanya membalikan keadaan. Apalagi jika kata, kalimat, dan narasi yang sama. Hanya beda pelaku dan tujuan, prosesnya sama.
Padahal sangat mungkin ada kutub antara, dan itu yang sangat penting. Jembatan tengah, alternatif, di mana selama ini memang ada yang ngipas-kipasi keadaan agar makin mengutub. Upaya Jokowi membawa Prabowo dan Sandi dalam gerbang itu telah memorakporandakan bangunan kutubisasi yang sedang diperkuat.
Risma Menjadi Amunisi Baru, Usai Nikita
Cukup sederhana, permainan pelik Jakarta bisa terurai. Ujaran sederhana tukang obat, memorakporandakan Petamburan. Satu demi satu terseret masuk bui, dan mereka ini penggaung paling gede di Jakarta hingga menasional. Semesta berkehendak. Mereka masih jaya, habis Risma didemo setiap waktu.
Pandangan dan asumsi politik terus ditebarkan. Mengapa? Ya karena fokus mereka hanya kekuasaan, politik, kursi, bukan untuk apa kursi itu. Lihat saja mengapa Risma dikritik hanya karena membungkus nasi. Kan kunjungan tidak mesti seremoni yang kaku, seperti pejabat Hindia Belanda saja.
Dulu, dalam studi, kalau seleksi pembesar itu malah lebih suka mendapatkan info tukang sapu, atau karyawan dapur. Mengapa? Mereka otentik menyatakan kami ini seperti apa, bukan semata kata-kata kami. Tidak ada kepalsuan dari sana. Tidak dalam arti bahwa kami ini kamuflase dalam sikap, tetapi otentiknya suka tidak semestinya.
Mengunjungi bencana itu tidak harus sebagai pejabat yang malah minta disambut. Kan tidak juga kunjungan itu seluruhnya acara resmi, sangat mungkin ketika jam istirahat, makan, bisa diisi dengan bincang dan memberikan perhatian pada para petugas sosial. Mereka ini juga perlu penyemangat lho.
Sempitnya wawasan dan pokoknya serang membuat politikus kadang malah ngaco dan menjadi bahan tertawaan. Padahal begitu banyak hal yang bisa dipersoalkan dan itu lebih mendesak, mendasar, dan penting.
Politik citra memang masih menjadi panglima. Nah dengan pembunuhan karakter sejak dini itu menjadi penting bagi sebagian penganut paham politik cemar asal tenar. Padahal sudah berkali ulang model ini gagal. Jangan karena sukses di pilkada DKI 2017 kemudian itu menjadi sebuah pola berulang. Prabowo sudah dua kali mengalami kegagalan. Itu lebih nyata dari pada pilkda mayat dan ayat.
Anies akan tetap sampai akhir dengan mau adanya taggar (#) atau desakan apapun. Tidak akan mempan tanpa ada aksi nyata dari DPRD. Berbeda, jika kepolisian, kejaksaan, atau KPK yang turun, bukan hanya bicara.
Pimpinan parpol daerah juga selama ini tidak banyak berdampak. Kecuali DPP yang bersuara, apalagi Prabowo sebagai pengusung utama yang bersuara, semua bisa buyar. Toh tidak akan mungkin sengaco itu juga. Dampak politis ke depan itu penting. Sama juga permainan tom n jerry tega larane ra tega matine. Hanya tega menyakiti tapi kalau mati tidak sampai hati. Lihat tuh si tom dan jerry selalu saling menyakiti kalau sudah mentok mereka juga membantu.
Mirisnya adalah pandemi masih menjadi momok eh malah terlalu asyik dengan asumsi politik. Nanti Risma mau mendongkel untuk pilkada. Sekarang itu tidak penting mau siapa yang memimpin, atau nanti, mendesak itu angka covid bisa diminimalisasi dan kalau mungkin berhenti.
Penyakit politik selama ini menjadi biang kisruh penanganan covid. Harapan baik menjadi buyar karena campur aduk politik, pun agama. Mana bisa ketika semua menjadi satu.
Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran pemisahan secara tegas, politik, agama, hukum, kesehatan. Tidak sedikit-sedikit agama. Penyelesaian apapun ada ranahnya masing-masing. Pun hukum dengan politik.
Keadaan makin kacau karena memang ada sebagian pihak yang mengaccaukannya dan mencampuradukan, salah satunya agama, politik, dan hukum. Padahal perlu menjadi pegangan dan penting bahwa ada penyelesaian masing-masing, tidak campur aduk.
Saatnya berubah dan bebenah, tidak saling sengkarut dan campur aduk. Kemauan dan kehendak baik itu penting.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan