Cermin Prabowo

Cermin Prabowo

Kemarin, hari ini, dan masih akan berlanjut tampaknya mengenai cermin Prabowo di acara Najwa Shihab di UGM. Salah satu bagian acara itu adalah meminta para bakal calon presiden untuk berdiri di depan cermin, bercermin sambil mengucapkan sesuatu, rerepih, dalam bahasa Jawa, berefleksi.

Prabowo seolah ketakutan, terlihat sangat berat untuk menyaksikan cermin itu, berdiri dengan goyah, tidak njenjem, maunya pergi dan lari dari kondisi atau keadaan itu. Hal yang   layak dicermati lebih dalam lagi, mengapa demikian?

Ada seorang psikolog yang mengatakan, bahwa ia takut untuk melihat masa lalunya, mengenai kegagalan-kegagalan, dan kekalahan yang berkali ulang. Sependapat dan sepakat dengan analisis ini, bahwa itu tentu saja membawa trauma tersendiri.

Kegagalan berulang, sama juga dengan pengalaman ditolak gadis berkali ulang, atau melamar kerja tidak mendapatkan apa yang ia angankan. Frustasi, trauma, dan juga takut gagal lagi itu pastinya membekas dan menakutkan.

Prabowo itu jenderal yang dulunya sangat ideal, badannya proporsional sebagai jenderal lapangan. Lihat saja photo-photo masa 98-an, di mana ia begitu gagah, tegap, dan itulah badan prajurit. Namun sekarang, bandingkan dengan seniornya seperti Luhut, Agum Gumelar, atau Hendropriyono, mereka jauh lebih gagah, jangan dibandingkan dengan Andika Prakasa tentu saja. Dengan SBY yang seangkatanpun ia jauh lebih buruk.

Tentu saja melihat cermin ia galau, enggan, dan malas. Kemudaannya sudah lama lewat, padahal ia tentu saja membangun citra dirinya muda, sehat, dan gagah. Lihat saja pidato-pidatonya selama ini, gegap gempita, bersemangat, dan berapi-api.

Takut bercermin, juga enggan melihat fakta yang tidak disukai, kelemahan yang sangat mungkin terpampang di sana. Buruk muka cermin dibelah, peribahasa yang sangat mungkin terjadi. Enggan  bahwa akan ada fakta yang tidak diinginkan.

Identik dengan mau menyembunyikan kelemahan, sehingga orang tidak akan tahu juga apa yang sebenarnya ingin disembunyikan. Hal yang miris bagi seorang Prabowo, di mana ia begitu gagah dan berapi-api ketika pidato atau kampanye, eh melihat bayangannya sendiri saja enggan, atau takut bahkan.

Bisa juga adalah gambaran diri yang enggan diterima. Sering dalam masa kampanye lalu, ia bertindak seolah adalah presiden, menyalami dari atas mobil, namun di sisi kendaraanya tidak ada, hal yang dibesar-besarkan oleh lingkaran utamanya, padahal dia sendiri juga paham itu tidak nyata. Namun tidak juga berani menampik bahwa ia menikmati itu.

Kondisi yang tentu saja berat bagi Prabowo, karena lingkaran utamanya mengelu-elukan, dan memintanya untuk menjadi presiden. Jabatan yang  bisa membuat mereka, bukan Prabowo enak, nyaman, dan tentu saja penuh keenakan.

Kondisi ini memang sangat tidak enak bagi tim Prabowo. Paling nanti akan dibuat pembenar yang makin memperlemah posisi capres mereka. Pengalaman dua periode yang tidak disikapi dengan sangat bijak dan cerdas.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan