Banjir, Menghajar Ganjar dan Mengiris Anies
Jakarta dan Semarang banjir itu relatif wajar, karena permukaan laut dan daratan hampir sama, bahkan kemungkinan permukaan tanah makin turun karena beban sangat mungkin. Air tanah yang diambil, beban bangunan di atas bumi, berperan turunnya permukaan. Air susah untuk mampu dengan cepat mengalir menuju lautan.
Curah hujan juga sangat ekstrem beberapa hari ini. Semarang, khususnya Tanah Mas, tanggul sudah sangat tinggi, cukup lama aman dan tidak banjir, kali ini terendam lumayan tinggi. Jakarta pun demikian. Usai awal 20 yang lalu banjir besar, kini mengalaminya lagi. Paling menggelikan itu, khas bangsa ini, bukan bicara mengapa banjir dan solusinya, tapi polemik politis.
Mengapa kalau Jakarta banjir, Anies dipersalah-salahkan, ketika Semarang banjir, tidak ada serangan atau mencari-cari Ganjar. Hal yang memang model bangsa ini. Beberapa hari ini, mulai ramai bersautan demikian di media sosial. Apakah pas dan tepat pertanyaan dan pernyataan itu?
Beberapa hal patut dicermati lebih dalam lagi,
Pertama, orang tetap saja mengaitkan ini dengan kontestasi untuk 24, keberadaan Ganjar yang melaju cukup kencang ini, pantas menjadi sasaran tembak dengan berbagai manufer. Sama juga dengan yang terjadi pada Anies Baswedan. Beda sikap dan perilaku untuk menjadi salah satu kandidat memang, tetapi toh asumsi publik tetap saja sama.
Kedua, tata pemerintahan keduanya sebenarnya berbeda. Jawa Tengah tidak seluruhnya kebanjiran, hanya Semarang dan beberapa kota Pantura, hal yang berbeda dengan bicara Jakarta. Jakarta itu yang dikenal gubernurnya, bukan walikota atau pimpinan daerah tinggat dua mereka.
Membandingkan banjir di kedua daerah dengan mencari Ganjar dan Anies tidak sepenuhnya pas dan tepat. Semarang ada Hendi sebagai penanggung jawab kawasan. Wong Ganjar tidak bisa juga kog ngobrak-abrik Semarang. Ini bicara landasar tata kelola dan tata negara. Sifat pemerintahan yang lain.