Gempa Cianjur, Bersyukur, dan Beragama

Menarik apa yang terjadi di Cianjur. Tentu tak hendak menyoal atau menertawakan musibah, bencana, dan gempanya, namun bagaimana sikap atas bantuan itu. Berseliweran nada negatif atas bantuan, soal label tenda, kiriman mie, pakai pantas pakai, dan juga mau tenda yang lebih bagus.

Bisa jadi memang ini adalah politisasi bencana yang dirancang oleh politikus busuk minim prestasi yang mau merusak kesuksesan pemerintah dalam banyak segi. Asumsi yang tidak berlebihan, karena pada masa lalu sepi kog ketika ada musibah, narasi seperti ini minim. Tidak seheboh saat ini.

Esensi hidup beragama itu bersyukur, tentu  itu adalah salah satu. Bagaimana mengaku agamis, religius, saleh, bahkan dengan label gereja saja dicopot, itu kan mau menunjukkan sisi religiusitas mereka yang gede. Lha bersyukur saja gak bisa?

Apa iya sih, mereka ini biasa makan buah dengan rutin, kog mie instan saja mengeluh?  Bencana itu kan keadaan luar biasa. Nah makan mie instan di hari-hari biasa itu wajar bukan? Mengapa sekarang mengeluh.

Bisa jadi ketika dikirim buah pisang misalnya, mintanya apel washington, atau minta duren, anggur, dan seterusnya. Mengapa? Ya melihat keluhan yang ada, pesimis mereka cukup diberi yang tidak sesuai dengan kehendak mereka.

Eh menyusul tayangan bagaimana pakaian pantas pakai tergeletak begitu saja dan mengatakan bahwa tidak perlu itu. Lagi-lagi ini sikap beryukur. Terima saja, jika tidakmau diam, itu sebagai bentuk ucapan kepedulian yang disambut dengan tangan terbuka.

Itu semua ternyata tidak cukup, masih ada tenda yang jebol karena label dibuka paksa. Efek manfaat di mana? Benar bahwa pelaku bukan pihak korban langsung, toh mereka bersikap. Tidak ada bukan?

Narasi minta bantuan tenda lebih bagus. Sekali lagi, bisa jadi ini adalah pihak lain, yang mau mengail di air keruh. Toh perlu disadari dan diingatkan jangan pernah membawa-bawa urusan politik dalam bencana. Ini biadab, keji, dan sadis. Levelnya bukan lagi manusia, namun iblis.

Sikap syukur itu wujud iman, beragama, dan religius. Bagaimana mengaku beragama, taat, lebel lengkap, ritual komplet, namun perilakunya jauh dari itu semua. Bersyukur, berterima kasih, bukan malah mengeluh dan menjual derita demi keadaan yang lebih baik.

Jika bukan para korban, namun penumpang gelap yang mendompleng, seharusnya pihak keamanan, forum pimpinan daerah bergerak, bukan malah mencari aman, dan ngeper menghadapi ormas, seperti ayam ketemu musang.

Melihat reaksi pimpinan setempat, ada unsur pembiaran dan juga memang demikian tabiatnya, bahwa ada penumpang gelap yang menyangkatkan makin kuat sikap tidak bersyukurnya.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply