Gibran dan AHY Dibanding-bandingke
Perayaan HUT Kemerdekaan Agustus kemarin, salah satu momen paling membahana adalah lagu Aja Dibanding-bandingke yang dinyanyikan oleh Farel. Begitu heboh tanggapan dari wrga negara atas aksi dan kerenyahan tampilan itu.
Biasa, apapun yang dilakukan Jokowi di mata kadroen ya gitu deh, dijadikan masalah, dicerca, dan dipermasalahkan dengan aneka alasan yang mengada-ada. Lagu itu memang menyentak kebaperan orang-orang politik minim prestasi.
Nah, dua atau tiga bulan berselang ada aksi politis yang dilakukan salah satu bakal calon presiden yang melakukan safari politik ugak-ugalan. Ini pasti Surya Paloh dengan Nasdemnya lagi puyeng. Maunya menjadi pengusung utama dan bisa menarik upeti sesukanya. Eh ndilalah, si bakal calon itu malah seenak jidatnya sendiri.
Gibran.
Masih terlalu dini untuk masuk kancah perpolitikan nasional. Usia dan pengalaman masih sangat muda. Masih perlu jam terbang yang banyak. Ini soal negara, bukan sekadar kota. Benar ia memiliki mentor dan juga rekam jejak yang sangat pesat.
Kemampuan finansialnya cukup baik untuk bisa menjadi bakal calon apapun itu. pengusaha muda sukses yang bisa membantu. Benar, itu tidak cukup gede untuk pilihan di negeri ini. Toh kolega yang siap membantu tentu banyak juga.
Pengalaman dan keberanian memasuki kancah politik praktis dan maju pilwako sangat bagus. Menang dua tiga step dai AHY yang menggunakan cara menguasai partai politik. Padahal dengan menjabat walikota, dengan ketum partai jauh berbeda.
Masalahnya, apakah para pendukung dan penggemar Gibran mau ketika pasangannya adalah Anies Baswedan yang seperti itu. Ini poin krusial justru.
AHY
Publik tentu paham seperti apa keberadaan AHY. Ngebet untuk menjadi capres, akhirnya lega lila menjadi cawapres. Hanya mengandalkan semangat semata. Pembuktian melalui kinerja nol besar.
Lebih banyak omong menanggapi keadaan, tanpa ada apapun nilai kebaruan. Capaian dan pembuktian sebagai pemimpin secara birokratis yang berbeda dengan militer dan ketua partai masih belum ada.
Modal kapital memang cukup besar, namun apakah rela dengan pasangan yang bermodal kata-kata namun menjadi calon nomor satunya. Hal yang makin sulit, ketika survey Kompas menempatkannya pada posisi elit.
Makin asyik saja nih pergerakan calon koalisi yang malah kembang kempis. Terlalu banyak gaya dan memilih malah akhirnya bisa jadi ketinggalan kereta karena masih pikar pikir dan pertimbangkan ini dan itu.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan