His only Son & Isa Almasih

His only Son & Isa Almasih

Apa yang disampaikan salah satu pimpinan dewan untuk penghentian pemutaran film mengenai Abraham, yang dipandang tidak sesuai dengan tradisi agama yang ia anut. Cukup mengejutkan, Ketika dalam waktu yang hampir bersamaan, Menag Gus Yaqut mengatakan  bahwa Indonesia ia angankan menjadi Kompas toleransi.

Visi yang realistis, bukan sebuah utopia, bahwa itu adalah mungkin. Faktanya negara ini dibangun di atas perbedaan yang demikian banyak, lihat saja suku, bahasa,  ras, dan juga agama. Mosok dipenuhi perbedaan demikian, namun elitnya masih maunya homogen, sama, yang berbeda adalah salah, keliru, bahkan musuh.

Isa Almasih itu bukan sebuah terminologi, nama atau sebutan yang akrab bagi umat Kristen di negeri ini, sekian lama sebutan resmi negara dalam menyebut hari libur Pekan Suci, atau masa Paskah. Toh diterima dengan lapang dada.

Eh malah tiba-tiba dunia hiburan yang sedang memutar film produksi Barat diminta dihentikan oleh anggota dewan, atas nama agama yang ia anut dan mayoritas bangsa ini yakini. Kan  memperlihatkan bagaimana melihat perbedaan sebagai sebuah hal yang harus dipersoalkan, ditanggapi dengan berlebihan, dan harus sama.

Padahal sudut pandang yang berbeda itu bagi pribadi dewasa tidak lagi sebagai sebuah hal yang besar. Tidak suka, tidak setuju ya tidak menonton, sesederhana itu. Bagaimana bisa mengendalikan keadaan di luar dirinya?

Atau jawab saja dengan karya yang sama berdasar dengan dan dari  sudut pandang sendiri, sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan sendiri. Tidak memaksakan bahwa semua harus sama dengan apa yang diyakini.

Bagaimana bisa karya kreatif kog dibalas dengan penghentian, kan banyak juga yang mau menonton, mau menyaksikan sebagai film, karya seni, lepas dari keyakinan atau agamanya. Mengaku demokratis tapi malah menjadi pelaku pemaksaan kehendak.  Lah ?

Negeri ini masih terlalu banyak meributkan dan meribetkan hal yang sejatinya tidak mampu kita kendalikan, memaksakan kehendak untuk semua sama, mau ikut konsepnya yang dianggap paling benar, dan di luar itu salah.

Beragama itu  seharusnya makin manusiawi. Membawa kemanusiaan semakin manusiawi, manusia yang sama, bukan membesar-besarkan perbedaan. Visi dan harapan Gus Yaqut sangat layak didukung bahwa negeri ini dibangun di atas perbedaan, layak menjadi acuan toleransi.

Perbedaan itu kekayaan, bukan malah menjadi bahan untuk memperbesar jurang pertikaian, perselisihan, dan kekacauan yang tidak karu-karuan. Toleran bukan pemaksaan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan