ICW, Moeldoko, dan Sikap Bertanggung Jawab
Perselisihan ICW dan Moeldoko berkepanjangan. Lumayan, melewati pesta ulang tahun Demokrat. Nama Moeldoko lebih moncer dari nama AHY dalam trending di media sosial. Ini penting, bagaimana keberadaan Demokrat itu labil.
Masalah ICW ini sebenarnya sederhana. Kemauan baik dan rendah hati. Mereka telah salah dalam menyimpulkan, dan minta maaf. Namun, permintaan maaf ini karena paksaan, dan tidak juga rendah hati, masih menyalahkan pihak lain, dan merasa diri baik-baik saja dan benar.
Beberapa hal layak kita cermati,
LSM, SJW, dan barisan sakit hati yang mengaku sebagai penyeimbang atau oposan itu, selalu benar. Jika terdesak mereka salah, gampang, maaf, khilaf, hape atau akun medsos dibajak, dan meterai selesai. Selalu begitu.
Mentok tidak bisa berkelit lagi, akan menuding pihak yang diserang sebagai pihak yang arogan. Tidak mau berdialog, dan sejenisnya. Seolah pelaku berubah menjadi korban. Ini masalah karakter.
Hukum negara ini mensyaratkan bahwa yang menuduh harus membuktikan. Nah, ini pasti dipahami sekelas ICW. Naif jika mereka tidak tahu, malah melemparkan opini kebalikannya.
Cenderung lebih politis, sehingga mereka tidak memainkan data, namun opini asumtif lepas alur logika yang biasa dijadikan rujukan peneliti. Ini fatal bagi lembaga penelitian. Telah korupsi pada tataran langkah kerja.
Negeri ini saatnya bebenah. Moeldoko dan diikuti Luhut benar menempuh jalur hukum usai berkali-kali diajak dialog tidak ada kehendak baik. Lanjutkan Jenderal, biar negara ini belajar lebih beradab.
Campur aduk, hukum, politik, agama, menjadikan keadaan tidak lebih baik. Ada ranah masing-masing. Jalan pada rel yang ada. Jika semua taat azas semua akan lebih baik.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
Berpikir dengan ‘perasaan’ dan merasa dengan ‘pikiran’, semua terbalik..
Berharap akan dan selalu ada perubahan baik..
Setuju n makasih 12
Klu berbicara tentang partai biru tentu kefantilan politiknya yg ditunjukan….seharusnya mrka beljara strategi poliltik dr pak de…kwkwk
malu n gengsi lah….