Jet Pribadi Tidak Mampu Gantikan PT

Media sosial riuh rendah dengan pembicaraan safari politik oleh bakal calon dari partai Nasdem menggunakan jet pribadi. Keberadaan pesawat mewah untuk “kampanye” yang tidak pada tempatnya. Memperlihatkan siapa di balik itu semua.

Makin panas ketika di sekitar momen itu juga ada pembicaraan bawah meja, si biru mau melompat ke KIB dan si partai agamis diajak untuk bergabung dengan partai milik Prabowo. Ini kisah kendaraan dalam arti yang sesungguhnya.

Hitung-hitungan soal PT atau ambang batas partai bisa mengajukan calon itu sangat jelas. Nasdem sendirian pastinya akan rontok duluan. Padahal mereka butuh kedua rekan partai lain jika mau mengajukan calon.

Pembicaraan mentah karena kondisi dan juga calon yang tidak berhitung secara  matang. Keadaan atau keamanan calon secara hukum sangat riskan. Ini tentu menjadi pertimbangan partai-partai untuk mau mengusungnya.

Mengecilkan peran  pihak lain juga sangat besar dampaknya. Bagaimana Anies      Baswedan dengan bahasa tidak terlalu halus, namun tidak juga vulgar menolak AHY yang jelas-jelas sangat ngebet. Malah menemui Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Padahal ia bicara mengenai daya tambah elektabilitas. AHY pun punya partai.

Friksi di dalam partai pengusungnya. Nasdem belum sepenuhnya mendukung keputusan elit partai. Berapa saja yang mundur, atau mengatakan antitesis Jokowi tapi yang lain, malah anak Surya Paloh sendiri mengatakan akan melanjutkan pembangunan presiden saat ini. Jelas mereka sendiri bingung, apalagi pihak lain.

Mulai panik sehingga makin kacau terlihat dilakukan oleh kader Nasdem. Bertikai di Aceh, pengakuan pelemparan telor busuk, tapi buktinya menunjukkan jauh berbeda, ini jelas bahwa mereka mulai merasa galau.

Menggunakan jet pribadi, yang awalnya tidak berpikir akan menjadi dampak buruk, direspons sangat emosional oleh elit partai, malah akan lebih baik naik onta. Reaksi yang emosional malah makin memperburuk keadaan.

Pemakaian jet pribadi sebagai sarana safari politik malah menimbulkan tafsiran yang berlebihan, bermewah-mewah, siapa yang membeayai, dan bagaimana sebagai calon pemimpin malah bersikap demikian. Blunder yang makin parah.

Perjalanan fisik sangat sukses, bisa ke mana-mana, dengan gagah perkasa menggunakan angkutan yang presiden pun tidak pernah  memakainya. Sayangnya adalah, itu tidak mampu dan cukup untuk mengantarnya ke KPU sebagai salah satu calon dalam gelaran pilpres, jika koalisinya tidak terbentuk.

Wacana demi wacana yang makin menghangatkan gelaran pilpres. Apa yang terjadi itu sebuah tontonan, drama yang asyik saja dinikmati. Berbeda afiliasi politik itu hal yang lumrah, tidak perlu harus berkelahi atau      memaksakan kehendak.

Wong belum tentu apa  yang dilihat dan dicermati publik itu sama dengan apa yang ada dalam benak dan pikiran elit. Jadi, ya nikmati saja apa yang terjadi. Bisa  iya, tentu juga bisa tidak.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply