Koperasi Merah Putih, Salah Kodrat

Koperasi Merah Putih, Salah Kodrat

Pemerintahan Prabowo merencanakan mendirikan koperasi di tingkat desa. Puluhan ribu, tepatnya 80.000 Koperasi Merah Putih akan ada di setiap desa di Indonesia. Menteri Koperasi Budi Ari menglaim akan mendapatkan keuntungan 80 T dengan asumsi setiap koperasi mendapatkan keuntungan 1 M per tahun. Angka-angka fantastis. Beberapa hal laik diulik untuk mendapatkan pemahaman waras bukan somplak.

Pertama, istilah koperasi itu berarti modal dasar dari anggota. Setiap anggota menabung atau mengumpulkan modal. Pada hakikatnya modal itu bersama bukan karena investor. Berbeda dengan perseroan atau bank. Baru asal modal. Konon katanya, negara memberikan modal dasar sebagai pengganti Dana Desa era pemerintahan yang lalu. Artinya, secara istilah saja sudah keliru, salah kodrat.

Kedua, jika Menteri Koperasi menargetkan keuntungan 80T dalam setahun. Fantastis, bisa menyumbang devisa nonpajak untuk negara. Namun, layak dicermati apakah bisa seperti itu untuk sekelas desa?

Satu, usaha apa sih yang bisa memberikan penghasilan hampir 100 juta di desa? Kecuali dijadikan modal untuk judol. Bayangkan di desa, yang masih dekat dengan Jakarta saja, seperti di Jawa Tengah, koperasi apa yang segede itu keuntungan? Benar, banyak koperasi desa yang mampu meraup keuntungan dan menyejahterakan, misalnya koperasi susu, koperasi tahu tempe, atau koperasi apapun di desa itu.

Bagaimana menemukan usaha yang khas, bisa menghasilkan dana sebegitu besar, hanya satu desa? Kebanyakan koperasi itu simpan pinjam. Toh bunga tidak bisa setinggi bank misalnya. Satu desa lho ini,  belum ketemu nalar bisa memberikan keuntungan per bulan 100 juta.

Realistis jika itu setingkat kecamatan. Membuat desa bisa memutar usaha dan mendapatkan dana sembilan digit itu kog gak mudah. Ini tidak soal pesimis, justru sangat realistis. Jika bisa sudah Makmur sejak dulu kala.

Dua, pekerja, apakah mereka tidak bekerja dan diberi upah atau gaji? Jika iya, berarti pendapatan koperasi di atas 100 juta untuk gaji pegawai. Nah,  berapa nilai pendapatannya jika demikian, sehingga bisa menutup 1 M setiap tahun itu?

Tiga, dana operasional. Jangan omong akan didanai negara lagi. Uang cupet sehingga ada efisiensi yang edan-edanan lho. Angkanya  juga tidak kecil. Berarti nambah lagi angka yang harus dicapai.

Empat, pengalaman dulu era Soeharto, KUD, toh, tidak banyak yang masih bertahan. Dulu, pengelola atau manajemen cenderung amatiran. Hal ini bisa diatasi dengan kemajuan zaman.

Lima, BMT, respon atas keadaan krisis moneter 98, toh tidak setiap desa juga berkembang dengan masih. Ada beberapa desa memang memiliki kantor usaha yang megah. Lagi-lagi tidak tiap desa. Anggotanya pasti lintas desa bahkan mungkin kecamatan.

Enam, dana desa dulu membuat tempat wisata, ala hangat-hangat tahi ayam, sebentar besar, terus hilang. Viral hanya dalam hitungan pekan kemudian hilang. Malah dana yang dikeluarkan untuk membangun belum balik.

Ketiga, pejabatnya tidak kompeten. Sama sekali tidak yakin, program ini sudah dipikirkan masak-masak. Cenderung mroyek, ini bukan sekadar mikir buruk, sudah banyak rekam jejaknya. Lihat saja Makan Siang Gratis Bergizi, di lapangan seperti apa?

Keempat, sekadar sensasi, buat program, urusan lain pikir  mburi, trial and error. Kalau dikritik meradang. Bagaimana ini bisa berjalan dengan semestinya.

Ketika penamaan saja sudah keliru, jalannya tidak  dipikirkan dengan masak-masak, ya jangan heran kalau akan mangkrak. Rekam jejaknya sudah banyak.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *