PDI Perjuangan, Politik itu Perlu juga Diplomasi
PDI Perjuangan, Politik itu Perlu juga Diplomasi
Lagi dan lagi partai banteng harus gigit jari. Menang pemilu namun kelihatannya harus gigit jari lagi. Kisah 1999 dan 2004 kembali akan terulang kembali. Menang dalam pemungutan suara, namun gagal dalam membawa pemimpinnya menjadi pemegang kursi. Sedikit banyak juga terjadi pada 2014, masih lumayan ada kursi presiden, namun pimpinan dewan lepas dan malah jadi “pesakitan” barisan sakit hati.
Mengapa demikian?
Pertama, politik itu sangat cair, bukan ilmu pasti yang begitu saja bisa diprediksikan. Manusia yang bermain, bagaimana bisa dipegang komitmennya. Lihat saja bagaimana sudah sumpah atau janji jabatan, toh maling masih merasa baik-baik saja. Ini soal komitmen, belum lagi jika bicara suara dibeli seperti dalam pilpres kali ini.
Kedua, diplomasi itu memegang peran sangat penting, karena dalam politik adagium tidak ada lawan yang abadi atau kawan kekal itu nyata adanya. Hal ini keknya diabaikan oleh Megawati terutama, dan PDI Perjuangan pada umumnya. Berkali ulang terjadi yang demikian.
Apa yang mereka lakukan itu bukan membuka kerjasama namun cenderung membuka fron perselisihan, tidak mau mengalah untuk menang, dan malah cenderung membuat kubu siapa kawan atau lawan. Tidak mau dengan kami berarti lawan.
Ketiga, politik sebagai seni itu perlu yang Namanya luwes, bukan kaku, rigid, benar dan salah secara membabi buta, ada ranah-ranah yang perlu Namanya toleransi. Berbeda dengan ideologi. Hal yang memang suka atau tidak, PDI-Perjuangan jawaranya.
Keempat, berkaitan dengan poin ketiga, ideologi ini ke dalam, bukan ke luar. Ketika kencang dalam ideologi dan luwes menjalin kerja sama, yakin peristiwa 99, 04, 09, 14, dan 24 tidak akan terulang. Tragis namanya.
Pada tahun 14 untung ada Jokowi yang bisa menjadi presiden, kalau kalah pilpres, dewan juga keok, habis sudah. Mungkin 24 lebih dini mereka alami.
Hal yang sama sebenarnya terjadi juga dalam pilkada. Kalah bukan karena kapasitas calon, namun karena pihak lain melakukan boikot atau sabotase.
Kelima, politik sebagai kekuasaan, apa yang menjadi parameter jelas menang dalam pemilihan. Terutama eksekutif pastinya. Sayang apalagi jika kalah di eksekutif pun legeslatif. Habis-habisan.
Salam penuh kasih
Susy Haryawan