Prabowo, Omon-omon Saya Kecewa

Prabowo, Omon-omon Saya Kecewa

Pilpres makin dekat, perang urat syaraf makin menguat. Wajar ketiga debat kemarin masih saja menjadi bahan pergunjingan, tertawaan, dan juga candaan.  Ketiga kandidat, satu dari militer, yang tidak pernah kenal debat, selain yes man, tunduk dan patuh pada atasan dan senior, berhadapan dengan dua macan panggung politik.

Dua kandidat itu memang orang organisasi, pemain panggung politik, sudah makan asam garam dalam berdebat.  Sebenarnya bukan soal Prabowo dikeroyok atau diserang, namun bagaimana budaya yang berbeda itu bertemu dalam panggung debat terbuka. Hal yang lumrah sebenarnya. Menggali gagasan dan mendesak ketika kompetitor tidak menguasai panggung itu hal biasa.

Berkepanjangan ketika yang merasa kalah, terdesak, dan juga terzolimi masih memperpanjang keadaan itu. Mempertontonkan bagaimana Prabowo jelas terlihat tidak siap kalah dan meluapkan itu dengan berbagai-bagai ekspresi.

Hari berikutnya membuat iklan publikasi sehalaman penuh melalui media cetak, atas keberhasilan yang jelas itu adalah klaimnya sendiri. Itu sah-sah saja, hanya menjadi lucu dan naif, ketika  dalam acara debat kedodoran dan juga emosional. Buat apa dengan iklan seperti itu?

Masih juga begitu banyak narasi yang berkembang berkaitan dengan pembelaan diri, merasa perlu bertahan untuk menampilkan dirinya tidak seperti di dalam debat. Itu malah makin memperlemah posisinya. Apalagi di depan relawannya ia masih melampiaskan kekesalannya dengan makian yang sangat kasar, ungkapan goblok dan tolol  bagi rivalnya yang seharusnya dihormati.

Tanpa salaman usai berdebat dengan dalih, Prabowo sebagai pribadi yang lebih tua harusnya didatangi Anies dalam konteks ini yang lebih muda. Memperlihatkan arogansi dan kesombongan di mana kepribadian pemimpin seperti ini apay a layak.

Gemoy hancur lebur. Padahal pertahanan adalah tema yang harusnya lima poin lebih gede bagi Prabowo dari pada kedua kompetitornya, sayangnya malah menhan aktif itu gagal memanfaatkan poin penting itu.  Wajar ketika ia menjadi emosional karena   malah menjadi bulan-bulanan karena memang kesalahannya sendiri.

Citra gemuk, lucu, dan jenaka seketika remuk redam dan berantakan, diperparah dengan  pernyataan lanjutan yang demikian kasar. Mana gemoy dan lucunya? Goyang gemoynya sudah hilang sama sekali, susah membuang watak. Bawaan  dari  kecil, gambaran diri yang begitu besar, semua hilang.

Makin memperlihatkan  keadaan Prabowo itu ya masih sama. Mau membalut dengan wajah menggunakan aplikasi, jogged atau goyang, toh akhirnya sama saja.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan