Religiositas dan JO

Religiositas dan JO

Hari-hari ini lagi ramai pembicaraan mengenai ”JO”. Maraknya permainan yang memungkinkan menghasilkan uang secara instan. Padahal belum pernah ada pemberitaan ataupun pengalaman yang memberikan bukti adanya orang yang kaya karena hasil berj**i.

Mirisnya, penduduk negeri ini adalah pemain ”JO” terbesar di dunia. Lebih memilukan jika dikaitkan dengan keberagamaan.

Pemilik masjid terbanyak di dunia. Rumah ibadah selalu penuh dengan jemaat, ada pasal penistaan dan penodaan agama.  Salam berbagai agama berseliweran di mana-mana. Kata-kata suci menghiasi sudut-sudut kota hingga desa.

Gegap gempita bahkan marah jika ada ungkapan yang menyinggung agama. Bereaksi kadang sampai beringas. Begitu kuatnya dalam beragama.

Eh tiba-tiba ada hasil yang mengatakan bahwa pemain j**i terbesar di dunia. Mengapa bisa demikian?

Pertama, surga itu juga tawaran identik dengan j**i. Kalau beli kupon dua nomor cocok akan mendapatkan 60 kali lipat. Lah apa bedanya dengan perintah agama jika melakukan ini akan mendapatkan ganjaran ini?

Malah rewardnya langsung diperoleh tidak usah menunggu sampai mati dulu. Jelas mana hadiah agama atau j**i?

Kedua, main j**i jika kalah tidak dapat apa-apa. Sama kan, kalau salah   malah masuk neraka. Serem banget.

Mau j**i atau agama keduanya memberikan hadiah, kalau menang keindahan, jika kalah derita. Jika demikian apa bedanya?

Ketiga, Karl Marx mengatakan jika agama adalah candu. Lagi-lagi ada persamaan. Maksudnya candu adalah, bahwa orang Ketika menderita, memperoleh ketidakadilan, mengalami kesusahan, toh nanti akan memperoleh hadiah di alam selanjutnya.

Membeli kupon atau main judi adalah sarana untuk mendapatkan hadiah, di mana   jalan ninja untuk keluar dari kesulitan.

Sudah terbiasa dengan biusan angin surga, janji-janji indah alam kematian, di depan mata ada juga demikian. Mau apalagi coba?

Keempat, konon ada 1000 anggota dewan, baik pusat ataupun daerah yang melakukan ”JO”. Mereka pasti paham aturan, dampak, dan kerugiannya, toh mereka memainkan itu dengan sadar.

Agama kan juga demikian, tuh para pejabat disumpah di bawah kitab suci masing-masing, dengan kata-kata suci, toh mereka masih juga korupsi alias maling, molor ketika sidang, atau bekerja dengan tidak semestinya.

Mereka paham kan apa tuntunan agama, toh dilanggar. Lagi dan lagi sama.

Miris jika menyaksikan negeri tercinta masih terbelenggu model demikian ini. Tahu dengan baik aturan, dampak, dan juga contoh-contohnya, tetapi masih juga banyak yang terbuai dengan    janji-janji yang belum dan bahkan tidak tervalidasi sama sekali.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan