Pak SBY Silakan Bicara, Pak Jokowi dan Bu Risma Tetap Bekerja
Kemarin, Pak Beye mengeluarkan pernyataan dengan model biasanya. Khas Pak Mantan itu dengan gaya nuturi dan paling hebat di seluruh jagad, ya biarlah itu pilihan beliau. Kali ini, yang paling menggelitik pilihan, bolehkan saya bicara, saya sempat memimpin sepuluh tahun. Dua terminologi yang patut dilihat dengan lebih menyeluruh apa maksud dan di balik itu kemungkinannya apa.
Bolehkan saya bicara.
Apa yang bisa ditafsirkan adalah, mau membangun narasi kalau pemerintah itu represif, menghambat kebebasan berpendapat dan bersuara, dan itu perlu untuk dikritik, dikritisi, dan tidak boleh terjadi. Ujungnya ganti Jokowi.
Sekelas mantan presiden saja tidak bebas. Lhah dalah, tulisan saya soal komunikasi Pak Beye ini sudah puluhan, dan selalu saya katakan, mbok datang, atau minimal telpon. Lihat almarhum Pak Habibie dulu sering banget ketemuan dengan Pak Jokowi. Keadaan demikian itu membuat adem dan rakyat menyaksikan harmonisnya elit itu ikutan tenang dan ayem.
Fakta soal kebebasan bicara ini sangat biasa. Pak Beye sebagai presiden dua periode pasti tahu dengan pas bagaimana kondisi saat ini, saat beliau memimpin, atau saat Orde Baru. Jadi naif jika seolah-olah Jokowi dan pemerintahan ini represif.
Saya juga Pernah Memimpin Sepuluh Tahun.
Akhirnya ini yang menjadi penting. Saya juga presiden. Lagi-lagi saya sudah berkali ulang menulis, sudahlah Pak Beye, semua akan ditulis dengan tinta emas, tidak usah mengaku dan menggaungkan apa yang pernah dicapai. Rakyat tidak akan lupa kalau memang ada bukti, tuh selalu saja diingat Hambalang. Pun tidak akan ingat kalau memang tidak ada bukti dan prestasi yang dicapai. Kan sederhana.
Penghargaan itu akan otomatis diberikan, disematkan, tidak usah memaksa orang untuk ingat. Kasihan sebenarnya bagaimana malah mantan presiden diolok-olok. Bagaimana tidak, mana ada yang mengatakan Bapak Mangkrak IndonesiaJangan Sok Ajari Jokowi. Sampai segitunya balasan dari masyarakat. Hal yang tidak seharusnya.