Kisah Nyata Mantan TKI dan Harkat Bangsa ini
Kisah Nyata Mantan TKI dan Harkat Bangsa ini
Artikel ini berasal dari cerita tetangga yang malang melintang di luar negeri. Pernah di Timur Tengah dan negara-negara Asia Tenggara. Berikut beberapa kisah tersebut.
Di Malaysia dikibulin dan akan diperas oleh agen di sana. Modus yang dipakai adalah memanfaatkan kekurangtahuan pekerja akan tanggung jawab, kontrak kerja, dan yang pasti menggunakan keterbatasan kemampuan para TKI. Misalnya, mau klarifikasi ke majikan tidak tahu alamatnya, kendala bahasa, dan sebagainya.
Tetangga ini berkisah bahwa ia akan didenda karena masih ada beberapa bulan perjanjian kerja yang belum dilakukan. Pihak agen mengatakan akan memotong uang dari majikan. Padahal si pemberi kerja sudah mengatakan, bahwa gaji, uang tiket semua utuh sudah diserahkan kepada agen. Pekerja di agen mengatakan bahwa uang dari pemberi kerja tidak penuh. Ia menantang untuk klarifikasi. Si agen merasa di atas angin, bahwa TKI tidak tahu alamat pemberi kerja. Ia paham bahwa rumahnya tidak jauh dari kantor agensi itu.
Kisah di Timur Tengah lebih mengerikan lagi. Ada dua cerita yang menarik di antara kisah-kisah pilu lainnya. Pertama, ia bertikai dengan majikan perempuannya yang berprofesi sebagai seorang guru. Mengatakan, bahwa orang Indonesia tidak pernah berpakaian yang tidak menutup aurat. Tetangga ini membalas, bangsa kami tidak menutup aurat, tetapi menutup lisan, lebih sopan dan menjaga perasaan orang.
Pemberi kerja kaget, ternyata si tetangga ini bisa berbahasa setempat dengan cukup baik. Pengalaman-pengalaman tenaga kerja lain, tidak bisa Bahasa setempat, sehingga memang diperalat dan menjadi bulan-bulanan. Mendiamkan selama tiga bulan, namun kini malah masih menjalin komunikasi usai belasan tahun tidak lagi bekerja di sana.
Cerita kedua, berakitan dengan ranah kekerasan seksual yang akan dilakukan adik dari si pemberi kerja. Berprofesi sebagai polisi. Ketika mencengkeram tangan untuk mau diajak berhubungan badan ditolak. Ia marah dan akan membawa ke polisi. Faktanya di balik. Sempat mengatakan orang Indonesia, konteks TKI semua mau disetubuhi, pezina. Tetangga ini menolak dengan keras dan mengancam mengenai agama, rasul, dan kitab yang sama. Ngeper.
Mengapa terjadi demikian?
Pertama, pembekalan yang diberikan sangat minim, contoh bahasa, kebiasaan, dan keberanian atas perjanjian. Tetangga ini berbicara jika melihat apalagi tertawa pada lawan jenis di Timur Tengah, artinya mau secara seksual. Harusnya adalah berpaling, ketika berbicara dengan lawan jenis di sana. Hal ini dimanfaatkan, padahal di sini sikap itu adalah respek, penghormatan, dan sopan. Diartikan yang berbeda. Jika PJTKI serius, kisah-kisah kelam tentu tidak akan terjadi.
Kedua, kendala bahasa. Kemampuan pasti minim, namun bisa dijembatani dengan proteksi yang lebih, misalnya perjanjian kerja dan perlindungan dari kementrian luar negeri dan juga Kementerian tenaga kerja. Selama ini kog kelihatannya lemah, maka negara-negara pengguna tenaga kerja Indonesia ini seenak jidatnya sendiri.
Ketiga, cenderung PJTKI asal memberangkatkan, jelas cuan orientasinya. Para TKI akan dianiaya, diakalin, dikibulin, itu bukan urusan mereka. Kemanusiaan di bawah kepentingan uang. Miris. Mosok negara dan jajarannya tidak paham sih?
Keempat, mosok sih tidak bisa belajar dari negara-negara lain yang mengirim tenaga mereka dan kondisinya relatif aman. Mengelola, melindungi, dan memberikan jaminan pada mereka. Jangan dianggap hanya sumber devisa namun dinistakan. Miris.
Kelima, negara harus paham, jangan sampai jargon agama malah menjadi bumerang, ketika mereka tidak memahami konteks yang sama. Perlu belajar lagi melindungi warga negaranya di manapun berada. Diplomasi bukan dikacangi terus menerus.
Memilukan.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan