FEATURED

Pahlawan dan Kepemimpinan Nasional Hari-hari ini

Belajar dari Pramoedya Ananta Toer

Lebih baik pemimpin yang dilupakan pengikutnya,
dari pada penipu yang menjadi pemimpin dan mendapatkan banyak pengikut
[Pramodya Ananta Toer, dalam Rumah Kaca]

Jendera Besar Soeharto mendapatkan gelar pahlawan nasional dari mantan menantunya, yang kini menjadi presiden. Pro dan kontra masih riuh rendah. Soeharto memang berjasa, bagaimana tidak, lha 32 tahun menjadi presiden, itu sebenarnya bukan jasa, namun tanggung jawab, kewajiban sebagai seorang pemimpin bangsa dan negara. Apakah gelar pahlawan itu sebagai sebuah keharusan sebagaimana gaji atau pensiun?

Teriakan paling lantang terdengar dari para pelaku aksi 98. Mereka, kini dalam masa puncak, matang, bukan sekadar emosional sebagaimana masa lalu. Saat melakukan demo untuk menurunkan Soeharto. Ada Sandyawan, Budiman, dan nama-nama lain yang pernah merasakan “saktinya” sang jenderal penuh senyum itu.

Wajar, ketika banyak netizen yang menampilkan tayangan-tayangan lama, seperti pengakuan Gus Dur yang hendak dibinasakan oleh rezim kala itu, hingga tiga kali. Atau menampilkan sosok penguasa Orde Baru dalam melakukan pemilu yang dikatakan penuh rekayasa. Kalau Fadli Zon yang memang dikenal sebagai loyalis Cendana itu, mengatakan bahwa genozida yang dituduhkan pada Soeharto tidak terbukti, bagaimana rekayasa pemilu berkali-kali itu? Apakah juga tidak terbukti?

Menjelang pilpres, Prabowo mendekati tokoh-tokoh 98. Paling jelas dan simbol Angkatan itu ya Budiman Sujatmiko, sejak itu, saya sudah yakin, kalau menang pilpres, sekadar alat, cuci masa lalu. Mengapa?

Sekarang, jelas-jelas pahlawan kemerdekaan itu sosok yang melawan Belanda, Jepang, Inggris, atau siapapun yang penah menduduki Indonesia. Lawannya jelas, itu pahlawan kemerdekaan, seperti Bung Tomo, melawan penjajah di Surabaya. Lha jika Soeharto adalah pahlawan bangsa, bukan kemerdekaan, jasanya itu sangat besar, yang dulu mendemo, menurunkan, dan membuat pemerintahannya berakhir sebagai penghianat negeri?

Tidak diadili karena mikul dhuwur, mendhem   jero, itu bagus, namun dengan memberinya status pahlawan, kogberlebihan.  Posisinya bagaimana dengan Gus Dur, Marsinah, dan ribuan orang yang kehilangan sanak saudaranya? Orang-orang yang terpenggal masa depannya karena tersangkut atau disangkutpautkan dengan PKI? Jangan sekadar hukum procedural, korupsi tidak terbukti, genosida tidak terbukti, namun ribuan, mungkin jutaan orang terhambat menjadi PNS ataupun militer dan polisi, itu sama jahatnya.

Penguasa yang begitu tega pada rakyatnya sendiri, sekali lagi, Menkeb Fadli Zon mengatakan tidak terbukti, bagaimana kalau Fadli Zon, yang cerdas seperti itu namun bapak atau keluarganya dikaitkan dengan PKI dan tidak bisa jadi apa-apa? Apakah dia masih akan gigih membela bak babi buta begitu? Coba tanya pada mereka, pasti banyak, jangan ngeles, tidak ada bukti.

Atau ke mana buku-buku Pram yang begitu luar biasa? Hanya karena dianggap menyindir keberadaan Sang Jenderal Besar, tulisan-tulisan bagus dan bermutu itu berujung menjadi abu. Ini sama keji dan jahatnya dengan penjajah lho.

Bahasa Eyang Pram sangat bagus, dari atas ke bawah, baca penguasa ke rakyatnya, yang ada Adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Balasan dari bawah ke atas, jilatan, kepatuhan, dan perhambaan. Karya tahun 73/75, atau setengah abad lampau, dengan latar belakang Hindia Belanda awal tahun 1900-an, namun kog identic dengan hari-hari ini. Miris.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *