Politik

Ekonomi Sulit, Elit Berkelit

Hidup Harian Beda dengan Berita Tipi

Hari ini, berangkat mengajar, menjadi sukarelawan, relanya hari Jumat, kata seorang senior. Keadaan angkutan umum sungguh pilu. Penumpang hanya saya sendiri, kek naik taksi, hanya saja jelas kendaraannya bukan model mobil pribadi. Namanya saja angkutan umum, massal. Si pengemudi mengatakan, tidak mengeluh, dari ibukota kabupaten menuju ibukota sebuah kota hanya membawa satu penumpang. Tarif umumnya Rp7.000,00, eh hanya meninggalkan uang tiga ribu rupiah.

Syukur, bahwa si pengemudi tidak mengeluh, hanya kecewa, mbok yao bilang saja, saya tidak punya uang, hanya ada uang ini, pasti akan diiyakan, kata bapak yang sudah lumayan sepuh ini. Ia berkisah karena saya tanya sepi ya Pak?

Kondisi sebelas dua belas di angkutan berikutnya. Lagi-lagi kek naik taksi atau angkutan carter, hanya saya sendirian penumpangnya. Tidak berani menanyakan, sepi ya Mas? Karena kondisinya memang sedang mengenaskan.

Beberapa hari lalu, ada tetangga yang nguda rasa, lagi-lagi tidak mengeluh, sekadar berkisah, bagaimana harga-harga sekarang tidak karu-karuan. Ayam sekilo hari ini sudah sama dengan harga mremo hari raya, bagaimana kalau hari raya, akan sampai harga berapa?

Pun telor ayam. Harganya sangat tinggi, belum pernah, harga-harga setinggi itu. Beras pun jauh lebih menggelisahkan, karena semua makan ini. Padahal tidak ada acara apapun, namun harga sangat mahal. Panen raya dan tidak ada yang gagal panen, tetapi harga beras tetap di atas.

Ekonomi Kelas Bawah Lesu, Kelas Atas?

Pasar tradisional juga sebelas dua belas dengan angkutan umum. Sepi. Pedagang atau pembeli sama saja, tidak ada transaksi yang berarti. Semua menahan diri untuk tidak banyak melakukan pembelian. Hidup sosial pun perlu bea yang tidak sedikit. Ada kematian, kelahiran, orang menikahkan anak, orang sakit, dan itu semua uang. Pendapatan tetap segitu saja, mana ada tambahan, apalagi memang rata-rata adalah buruh, pedagang kecil, atau pegawai biasa.

Proyek sepi, pemerintah berubah orientasi. Tidak lagi menggeber pembangunan infrastruktur, sehingga tidak ada lahan untuk bekerja di proyek. Penggerak ekonomi kelas atas bawah, ya proyek ini. Elit mendapatkan untung gede, masyarakat kebanyakan sekadar menjadi buruh untuk bertahan dari hari ke hari. Semua itu kini lenyap.

Dana desa, yang membangun dari paling dasar, kini beralih menjadi Koperasi Merah Putih, orang desa tidak ada yang tahu, terlibat, dan ikut mendapatkan keuntungannya. Tiba-tiba ada acara, katanya peletakan batu pertama untuk KMP. Lahan subur untuk sawah, malah diubah jadi gedung. Katanya ketahanan pangan, malah menjadikan sumber pangan jadi bangunan beton. Ini pemimpinnya berpikir untuk bangsa, atau untuk kroninya sih? Dulu membangun jalan di mana-mana yang berkuasa sekarang teriak, rakyat tidak makan semen, lha parah yang ini dong.

Rakyat menjerit, semua serba sulit, eh tiba-tiba nambah ditjend, nambah Menteri, beli pesawat tempur, kapal perang, jumlahnya puluhan. Memang negara butuh alutsista, tapi mbok yao berimbang, rakyat juga perlu makan. Elit berlomba-lomba mendapatkan jabatan, malah dobel-dobel, rebutan segala. Rakyatnya sekadar ndomblong melihat tidak berdaya.

Kekuasaan Absolut

Maunya kek Tiongkok, kekuasaan satu kendali. Partai tunggalnya diganti militer. Sekarang mereka, baca tentara jalan di mana-mana. Job sipil pun diambil alih, tiap saat ada kenaikan pangkat para jenderal. Rekruitmen ribuan tamtama karena menambah batalyon dan komando territorial. Zaman aman itu tidak perlu banyaknya orang dan kantor, tapi cerdas dan alat modern, bukan beli bekas.

Keuangan daerah dikurangi, kendali kembali pada pusat. Padahal si pengendali itu keknya tidak mampu-mampu amat. Sekadar mengembalikan Orba kekinian semata. Program populis namun tidak membuat anak bangsa kritis dan cerdas.

Perbaikan hidup bersama, mental, toleransi, kecerdasan sama sekali tidak terlihat. Padahal dari sanalah kemajuan bisa tercapai. Integritas nol besar, jujur dan tanggung jawab itu minim. Seolah-olah berlomba-lomba memutarbalikkan kebenaran menjadi kesalahan dan yang keliru tampak benar.

Dunia Pendidikan saja memberikan peluang demikian. Pungutan di mana-mana, tidak mampu masuk karena kurang nilainya bisa digantikan dengan uang dan koneksi. Anak sekolah lanjutan atas belum lancar baca tulis itu banyak, jangan dianggap angin lalu. Diberi makan bergizi langsung jadi pinter.

Pendidikan bisa dikendalikan orang tua, karena UU ngaco, namun apa iya dengan tujuh kebiasaan baik yang hanya diulang-ulang itu bisa mengubah karakter anak dan orang tua? Lihat saja kasus Cimarga. Sudah setahun tujuh kebiasaan baik dihafalkan bukan?

Kejujuran, lihat saja elit yang masih saja berkelit dengan kesalahan yang sudah ditunjukkan. Nanti malah lapor polisi dengan UU ITE jika disentil. Padahal itu adalah upaya memperbaiki perilaku bersama. Mosok ada polisi terlibat dalam penjualan narkoba hanya dihukum etik dan diwajibkan sholat, coba jika masyarakat yang melakukan, bisa puluhan juta melayang dan bui dihuni bertahun.

Mirisnya negeri yang konon sudah 80 tahun Merdeka. Dikelola dengan geguyon, tidak ada keseriusan di sana. Pilu.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *