Politik

UU TNI dan Masa Depan Indonesia

UU TNI dan Masa Depan Indonesia

Pemerintahan kali ini dipenuhi dengan isu mengenai kembalinya Dwifungsi ABRI-TNI. Jabatan-jabatan strategis, termasuk presiden adalah militer. Konsolidasi yang dilakukan  juga ala militer. Namanya sih retret, namun di kawasan   pendidikan  calon perwira. Warna seperti apa kekuasaan itu terlihat dari sana. Baju yang dikenakan saja jelas-jelas militeristik.

Sebelum ada pembahasan revisi UU TNI, perwira aktif sudah mengisi pos-pos jatahnya sipil, sebagaimana kabulog, menteri,  dan banyak lagi. Pernyataan Kalina Supeli yang menyatakan ada sesat pikir dalam bernegara, ketika tentara aktif sudah mengisi jabatan-jabatan publik, baru “dibuatkan” UU untuk “membenarkan” apa yang mereka, baca penguasa maui.

Lebih memilukan, mereka, legeslatif dan eksekutif melakukan pembahasan  di hotel berbintang, di Tengah gembar-gembor efisiensi. Ada apa ini?  Belum lagi yang dibahas memang hal yang tidak mendesak bagi keberadaan negeri yang tidak sedang baik-baik saja.

Lihat peristiwa di Lampung, di mana polisi yang sedang “menegakkan” hukum malah ditembak dengan sadis oleh tentara. Ingat senjata itu pastinya milik negara, peruntukannya demi pertahanan negara terhadap musuh, bukan sesama penegak hukum. Harusnya hukumnya dobel atau tripel, tapi paling-paling juga menguap. Ada pelanggaran menggunakan senjata, membunuh dan melawan petugas, “menjadi pelindung sabung ayam,” ada korupsinya juga. Sikap menyesalnya juga tidak tampak. Pasal yang harusnya berlapis-lapis. Pesimis dilakukan, karena ada yang dilindungi tentunya.

Parcok dan parjo, partai coklat dan partai ijo lagi ugal-ugalan. Seolah menjadi preman berseragam. Cek saja di media social, sangat gambang ditemukan pelanggaran-pelanggaran biadab ini. Sepanjang tidak ada pengakuan jujur dan tulus dari para elit dari kedua institusi ini, yang ada yang terus-terusan akan diisi pecundang berseragam. Jangan hanya bicara itu oknum, hanya segelintir pelaku, bukan seluruhnya.

Sikap permisif dan cinta korp yang keliru membuat semuanya menjadi busuk. Padahal sederhana, akui, tindak dengan tegas, rekrutmen diperbaiki, dan dengan anggota baru yang lebih baik tentu saja. Apakah hal ini bisa terjadi?

Jauh dari harapan.  Prasyarat untuk bisa memperbaiki kondisi dan keadaan sama sekali belum ada. Mulai rekrutmen, kenaikan pangkat, dan model kinerja mereka masih amburadul. Miris sebenarnya.

Apa kaitannya dengan masa depan bangsa? Jika mengaku negara hukum namun penegak hukum e gelut dhewe-dhewe dan mengandalkan otot dari pada otak, ala senggol bacok, padahal punya seragam, senjata, dan juga pendidikan yang lebih dari cukup.  Kapan negara ini dikelola dengan waras?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *