Gibran antara Harapan dan Kenyataan

Gibran Bukan Jokowi

Orang-orang sudah pada heboh sejak awal, bahwa bapaknya Jan Ethes ini pemimpin masa depan. Malah sudah juga cucu sulung Jokowi itu pun dijadikan harapan besar, akan menjadi pemimpin negeri ini. Asumsi, keinginan, kerinduan, Ketika presiden ketujuh RI itu berbuat begitu banyak bagi negeri dan rakyat bangsa Indonesia.

Tampaknya semua itu akan sirna. Kemarahan masyarakat, dibumbui yang berseberangan kepentingan, kini menjadi penghujat melebihi kampret dan kadrun pada eranya, pilpres 2014 dan 2019. Malahan, kini apa yang disampaikan partai pengusungnya lebih buruk.

Suka atau tidak, itu semua karena pemilihan Gibran untuk maju bersama Prabowo dalam pemilihan presiden mendatang. Hal yang membuat banyak pihak meradang itu karena batas usia yang diloloskan MK, di sana ada paman dari sang calon. Makin besar tanda ketidakberesan, apalagi kemudian ketua MK itu memperoleh sanksi penghentian jabatannya. Tuduhannya adalah  pelanggaran etik.

Kembali,    ingatan massa terkecewakan, ketika dalam banyak peristiwa Gibran gagal memperlihatkan bukti, bahwa ekspektasi pemilih itu benar. Contoh, ia tidak hadir dalam undangan-undangan untuk bicara visi dan misi

Menjawab soal sampah yang telah ia lakukan saja, malah ngeles bahwa ada buku, untuk apa ia menerangkan. Jelas bukan jawaban seorang pemimpin. Harusnya ia bisa mengatakan dengan garis besar, sangat sederhana, memperlihatkan bahwa ia paham dengan kondisi sampah di Solo, juga untuk bangsa dan negara ini.

Gemoynya Prabowo, padahal maaf bobrok, bukan gemuk, lucu, dan imut, tidak bisa ditutupi atau dilengkapi oleh keberadaan Gibran. Apa yang tampil saat ini, malah keduanya memperlihatkan  kekurangan keduanya. Tidak ada hal signifikan yang membuat orang percaya bahwa mereka bisa.

Selama ini nama besar Gibran itu karena Jokowi yang melakukan hal besar bagi negeri ini. Publik langsung yakin, bahwa ia juga sama dengan sang bapak.  Kejadian pilpres ini mencelikkan mata masyarakat, Gibran bukan Jokowi, dan tidak bisa melakukan apa yang bisa mantan walikota dan gubernur itu telah lakukan.

Pembuktian Gibran di Solo belum cukup. Beda dengan bapaknya yang dua periode dengan sangat gemilang. Sejenak di Jakarta juga terobosannya jelas, lugas, dan visioner. Malah sebaliknya yang diberikan kepada masyarakat. Tidak ada yang meyakinkan, prestasi atau capaian susah memang, karena Solo sudah jadi.

Eh dalam perbincangan, diskusi, atau debat sama saja, 11 12 dengan prestasi sebagai kepala daerah. Ya sudahlah, itulah adanya. Mau apa lagi.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan