Mental Kere, KIP-Kuliah Bergaya Hidup Mewah

Mental Kere, KIP-Kuliah Bergaya Hidup Mewah

Hadiah Hari Pendidikan Nasional, malah ada dugaan bahwa KIP-Kuliah dinikmati mahasiswa bergaya hidup mewah. Media sosial bagus bisa menjadi media cek ricek atas banyak hal. Evaluasi sering tidak ada tindak lanjut sehingga sering bantuan itu tidak tepat sasaran. Identik dengan bansos, PKH, dan BLT, serta serba bentuk bantuan dan subsidi.

Akhir April jagad dunia maya dihangatkan dengan penemuan beberapa penerima KIP-Kuliah itu sering pamer hidup bukan biasa saja, setara mahasiswa, ada yang pakaian bermerk, gadget kelas atas, atau gaya hidup glamor. Ada pula yang pernah mengaku memiliki rekening sampai sembilan digit. Level mahasiswa lho, bukan karyawan atau pengusaha muda. Eh masih menggunakan beasiswa KIP-Kuliah.

Berbeda jika beasiswa karena prestasi atau yang lain, tentu tidak akan menjadi perbincangan yang berlebihan. Lagi-lagi tidak  tepat sasaran.

Mengapa bisa terjadi?

Pertama, gaya hidup mewah tanpa mau tahu asalnya sekarang ini sudah menjadi biasa. Jadi orang bahkan anak-anak dan kaum muda pun bias saja melakukan itu. Gaya hidup yang penting. Pakaian, gadget, kadang juga motor atau mobil sudah menjadi seolah keharusan.  Padahal belum juga harus demikian.

Kedua, contoh dan keteladanan. Lihat saja gaya hidup dan hedonisme merajai semua lini masyarakat. Tanpa peduli profilnya apa, yang penting menggunakan merek itu sebuah kebanggaan dan menaikkan mutu hidupnya. Padahal tidak juga demikian, harusnya prestasi, jika bicara mahasiswa, atau dampaknya bagi lingkungan atau masyarakat.

Ketiga, sering  orang tua juga mengajarkan, baik langsung atau tidak. Contoh, menyuap demi masuk sekolah favorit atau menang lomba ini dan itu. Pembiasaan, bahwa hal tidak baik seprti itu sah-sah saja. Anak didik dengan cara yang keliru, namun karena banyak dan sering dilakukan seolah baik-baik saja.

Keempat, hampir semua model bantuan dan jaminan sosial tidak tepat sasaran. Hal ini harus mengadakan evaluasi dengan menyeluruh, jujur, dan penuh integritas. Jangan hanya bicara sudah sesuai prosedur, sudah menjalankan SOP, kadang melanggar karena sudah mengikuti prosedur dianggap  benar.

Kelima, malu miskin namun tidak mau bekerja keras. Menggunakan barang bermerek atau tidak sejatinya sama saja. Nah, karena memiliki gaya hidup tinggi, akhirnya menggunakan fasilitas bantuan atau tunjangan untuk mendukung gaya hidupnya. Pada sisi lain tidak malu dicap miskin karena menggunakan surat keterangan tidak mampu untuk memperoleh jaminan, tunjangan, atau bantuan.

Keenam, mental kere, maunya disuapin, dibantu, disubsidi terus menerus. Hal yang sejatinya merusak mental juang anak negeri ini sendiri.  Bergantung dan tidak mau bersusah payah. Mentalnya pasti  menjadi lemah dan buruk.

Mekanisme mempertahankan diri ketika terkuak tabirnya akan mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain. Tanpa  berani jujur mengatakan kesalahannya.

Ketujuh, penyelesaian yang tidak pernah tuntas. Selalu saja diabaikan, dan viral lagi, sebentar lupa, dan ada lagi kejadian yang timbul dengan bentuk yang berbeda.

Mirip kan dengan pamernya istri atau anak pejabat , ternyata bapaknya maling uang negara. Ini menjadi pemicu untuk ikut-ikutan, dengan kapasitas dan konteks yang lain tentunya.

Kedelapan, rumah ibadah, peringatan hari keagamaan selalu meriah, libur , namun mental kere ini masih saja kuat, ada yang keliru. Seremoni, ritual, apalan pastinya jempolan, namun mental kere dan maling masih saja merajalela, malah kelas mahasiswa pun ikut-ikutan. Sebenarnya bukan hal baru juga.

Yakin pasti beberapa waktu lagi akan viral dengan penemuan keanehan dan kelucuan dalam bentuk yang berbeda. Mental kere ini yang perlu diubah bahwa bekerja keras, merasa cukup, jangan mengambilnya hal pihak lain itu penting, utama bahkan.

Hal tersebut di atas sudah menjadi gaya hidup, yakinlah keadaan lebih baik. Itu perlu pendidikan baik, kehendak kuat, dan pastinya kesadaran.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan