FEATURED

Prioritas Jokowi

Prioritas Jokowi

Cukup mengherankan dengan perilaku Jokowi yang akhir-akhir ini ugal-ugalan dalam menerapkan skala prioritas. Sejak akhir tahun lalu sebenarnya banyak pertanyaan mengapa dia demikian kacau, dan banyak hal yang penting malah dikalahkan. Keyakinan publik mengenai cawe-cawe dalam pilpres, MK kemudian MA, dan berujung polemik, makin hari semakin mendapatkan peneguhan.

Bagaimana bisa menutup rangkaian acara skala nasional, PON malah ditinggalkan demi menjadi saksi pernikahan mantan anak buahnya. Presiden lho, pemimpin tertinggi di negeri ini, mosok membedakan mana yang penting dan utama malah dikalahkan demi kepentingan personal dan hanya berkaitan dengan hal yang bersifat sangat pribadi. Berbeda jika itu melayat, masih bisa dimengerti, meskipun tidak wajar juga.

Komentar sebagian pihak mengatakan, Presiden merasa tidak enak alias jengkel karena berbagai skandal yang terjadi dalam helatan  olah raga terbesar di Nusantara laporan mengenai pengelolaan makanan dan lapangan yang buruk. Masalah kepemimpinan yang tidak beres, menjadikan presiden enggan menutup acara tersebut.

Hal yang tidak pas jika alasannya demikian. Jauh lebih baik jika ia datang dan katakan bagaimana pelaksanaan pembinaan olah raga harus baik dan jiwa sportivitas itu dikedepankan. Jangan hanya bicara dapat emas dengan menggunakan segala cara.

Padahal begitu banyak hal bagus dilaksanakan selama kurang lebih sembilan tahun, mengapa hancur lebuh hanya dalam hitungan bulan, dan itu ada di penghujung. Masyarakat disuguhi warisan dan memori buruk.

Belum lagi   jika bicara perilaku anak-anak dan menantunya dalam beberapa bulan terakhir. Jauh meninggalkan apa yang sekian lama dibangun. Seolah dimentahkan dan dihancur leburkan hanya dalam hitungan bulan. Buat apa berkelahi dengan dunia dan WTO segala, jika ujungnya hanya seperti ini?

Begitu banyak kritikan, yang kadang berlebihan dan menegaskan apa yang sekian lama dikerjakan dengan baik. Hal yang wajar banyak yang kecewa, nila setitik rusak susu sebelanga sangat tepat menggambarkan keadaan itu.

Perjuangan dengan susah payah, remuk seketika. Membangun Masyarakat untuk biasa naik turun harga BBM dan sudah terbiasa, tidak lagi membawa gejolak, eh malah sekarang kayak gini modelnya.  Mosok akhirnya sama saja dengan para pendahulunya sih?

Salam penuh kasih

Susy Haryawan