Kunjungan Paus, Toleransi itu Bukan Hanya Membiarkan
Kunjungan Paus, Toleransi itu Bukan Hanya Membiarkan
Judul dan tema ini berkaitan dengan komentar teman-teman di media social dan media percakapan. Dua kali artikel yang diberi tanggapan, pertama soal salam ala agama menurut salah satu petinggi MUI. Responsnya adalah, jangan dipikir terlalu dalam. Saya paham karena kantornya di kemenag yang sudah sangat paham dengan karakter koleganya.
Kedua tanggapan artikel adzan saat Misa Bersama Paus Fransiskus yang oleh Jusuf Kalla layar televisi dijadikan dua. Reaksinya adalah kemampuannya hanya segitu. Hal yang sangat-sangat wajar, nrimo.
Rekan lain menanggapi dengan kisah, bagaimana Ketika budhenya meninggal. Keluarga ini berdampingan dengan masjid, pas acara pemberkatan dan adanya waktu sholat. Ibadah arwah dengan sound mini untuk dalam rumah, dan toa tetangga mengalun dengan sangat lantang.
Toleransi bukan sekadar membiarkan pihak lain mengadakan aktivitasnya dengan leluasa. Namun ada juga imbal balik saling menghormati. Tepa selira ini yang tampaknya makin memudar. Arogansi, merasa mayoritas pendapatnya, sikapnya, perilakunya yang harus dibenarkan, dimenangkan, dan tidak boleh protes.
Pembiaran ini yang membuat keadaan tidak semakin baik. Kepercayaan nek gedhe, kalau besar tahu sendiri dalam mendidik anak, membuat situasi makin kacau. Didiamkan itu biar mengerti, namun ternyata menjadi lebih parah. Merasa benar dan tidak memiliki empati dan toleransi pada akhirnya.
Sikap minoritas yang selalu menerima keadaan, makin membuat sebagian kelompok mayoritas arogan menjadi-jadi. Merasa menang dan pihak lain sebagai pihak yang kalah. Dalam hidup Bersama sejatinya tidak ada yang menang dan kalah, semua sama. Prinsip menang-menang harus terjaga. Hal ini sulit terjadi jika model pendekatan seperti ini terus.
Si kecil nerima apa saja yang mayoritas lakukan, dan si gedhe emang arogan, maunya menindas, dan menang sendiri untuk menguasai. Hal ini terus saja terjadi.
Sama halnya dengan bualan mantan pastor anak uskup mualaf, ahli Kristologi mantan biarawati mualaf, dan seterusnya. Padahal hanya bualan semata, bahkan kebohongan. Gereja terutama Katolik tidak pernah ambil peduli, tetapi perilakunya makin menjadi karena pendengarnya juga tidak mau repot mencari informasi.
Pancasila sebagai idiologi bangsa sering kalah suara karena lebih banyak pihak yang bersuara keras sering dengan kekerasan dan dibiarkan. Pihak yang jadi korban juga hanya diam saja. Penegak hukum tidak hadir. Kata-kata Paus mengenai keadilan atau pernyataan Kardinal Suharyo negara hadir seolah masih terlalu jauh untuk hal-hal ini.