FEATURED

Bobibos, Inovasi Diganjar Intimidasi

Bobibos Tidak Sendiri, Deret Panjang Pernah Terjadi

Harapan baik, di mana selama ini Jerami hanya menjadi momok bagi petani. Di Thailand Jerami dijadikan kertas untuk alat makan minum sekali pakai. Keberadaan limbah panen padi ini menjadi nilai jual yang tinggi. Malah di sini jadi pencemaran karena hanya dibakar. Ada produk jadi yang bisa menyejahterakan rakyat khususnya petani malah diintimidasi.

Inovasi yang Tidak Pernah Dihargai

Beberapa tahun lalu, ada seorang teknisi yang merakit pesawat televisi. Malah diancam bui karena dianggap pemalsuan. Akhirnya oleh presiden waktu itu Jokowi diberikan sertfikat SNI sebenarnya Jokowi juga mengalami, ketika gagasan mobil SMK yang malah jadi bulan-bulanan untuk ditertawakan, bukan didukung.

Toyota itu bisa segede sekarang dengan perjuangan. Konon pada awalnya tiga hari berjalan seminggu di bengkel. Alasannya ya jelas belum sepenuhnya bisa berjalan denhgan baik, dalam konteks versi sekarang.

Di Aceh ada pula penemuan bibit tanaman padi yang jauh lebih bagus, malah dibui. Alasannya ya itu tadi, prosedural yang sering dibuat-buat dan berujung ngapain melakukannya. Lebih baik mengerjakan yang sama, wong prestasi malah dibui.

ESDM sudah mengultimatum mengenai Bobibos ini. Jelas karena ini kartel, mafia, dan kepentingan kelas paus, bukan sekadar kakap lagi. Jangan sentuh kami, mau mati, gitu kasarnya.  Siapa yang mau memberikan perbaikan untuk Pertamina, PLN, apalagi menjadi kompetitor, ya  bui menunggu. Bisa juga nyawa melayang.

Dalam versi mini, saya pribadi mengalami, bagaimana mau meminta “penyuluhan, pendampingan, dan pemberdayaan usaha supermikro saya, pengolahan buah-buah yang tidak laku jual menjadi wine. Eh jawabannya, kan haram, mengapa tidak dibuat manisan. Lah ndhasmu kui, inovasi dijawab dengan dogma. Di mana Pancasila?

Membaca Tetraloginya Pramudya Ananta Toer terlihat bahwa budaya, tabiat inferior feodalis itu memang sangat kental di negeri ini. Dulu, dalam masa Kerajaan, jangan sampai orang biasa mengeliminasi kaum ningrat atau priyayi, sehingga mental kepiting dipakai. Orang kecil tidak boleh naik, kalau sempat di atas ya harus ditarik untuk kembali melata.

Hal ini yang dengan cerdik dibaca Belanda dan menjadi alat untuk mampu mengangkangi Nusantara ratusan tahun.  Kini, hal yang sama masih mengidapi pola pikir dan pola tindak masyarakat ini.

Inovasi pasti dicela, tapi yang tidak ngapa-ngapain malah dibiarkan saja, besok malah dipilih, sering naik kelas, seperti anggota dewan, bupati-walikota, gubernur,  menteri, jarang yang memiliki kinerja dan rekam jejak bagus bisa berkembang lebih jauh.

Negara Abai

Penelitian, meskipun ada Kementerian Riset, toh tidak pernah ada hasil luar biasa. Lahan pertanian untuk penelitian malah disewakan. Ya wajar tidak ada hasil benih unggul yang bisa menjadi harapan masa depan.

Lebih seneng impor karena ada fee, atau uang palak, jatah preman untuk mereka, baca para elit negeri. Mereka ini orientasinya cuan dan diri, bukan negara apalagi masyarakat. Mana pernah ada dalam benak mereka itu mikir bangsa, negara, atau kepentingan rakyat. Hanya aku dapat apa dan berapa.

Sepanjang model ini terus berlangsung, sampai lebaran kuda juga masih akan begini-begini saja. Mana ada Indonesia Emas, adanya Indonesia Gemas, karena melihat pejabatnya malah jadi penjahat. PENGALAMAN DARI STASI KE STASI YANG BERKESAN -1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *