FEATURED

Parjo versus Parcok, Sebuah Satire

Parjo versus Parcok, Sebuah Satire

Pada suatu ketika, di Kanan Jalan ada perselisihan karena rebutan adu kucing. Perputaran cuan memang kenceng di sana. Perjudian yang konon terlarang secara agama dan negara ini, toh banyak melibatkan oknum beruniform tertentu.

Nah, kala keadaan negara sedang gundah gulana, dua kekuatan yang sedang berebut legitimasi bawah tanah ini beradu kekuatan.  Mereka maunya kelompoknya saja yang eksis, dan yang lain menjadi underbownya.

Siapa terima dengan keadaan ini, wong selama ini mereka yang menguasai lahan adu kucing itu. Wewenang yang negara amanatkan pun lebih cocok untuk mereka.

Meletuslah perkelahian dengan senjata masing-masing, dan tiga anggota Parcok gugur di tempat. Gugur ini konteks si coklat, bagi si ijo, mereka ini tewas karena ikut campur berlebihan dalam urusan yang tidak harusnya seperti itu.

Tumben Parjo ada yang mengaku, kalau memang ada uang yang beredar, mereka si ijo dan coklat ini sudah bagi-bagi cuan selama setahun terakhir. Ngeri kali ini bang, kata bang Ucok.

Daerah niger katanya, tempat di mana mereka bertukar tembakan yang berujung kematian tiga personal si coklat. Tembakan di kepala, tepatnya mata, mulut, dan dada. Keren banget ini, jitu. Coba ikut olimpiade, kan juara, bukan rekan penegak hukum targetnya. Senjata rakitan sangat banyak, dari mana dapatnya, untuk apa, bahan dari mana, dan seterusnya. Tapi, belum ada pengakuan dan pernyataan korelasi daerah niger dengan penembakan di arena adu kucing ini. Kata si ijo lho.

Menembak, bahkan membunuh kog seolah enteng banget, lha kadang melihat cacing kepanasan dan meliuk-liuk saja gak tega, ada yang lain melihat hewan peliharaan mati saja ditangisin, ini menembak hingga tewas rekan penegak hukum, kog seolah santai?

Ke mana nurani mereka ya?

Kala nurani sudah berganti materi, jangan harap negeri yang adi luhung itu akan bertahan. Sekarang lebih banyak orang menjadi pemberani, tidak takut malu, karena bisa membeli kebenaran.

Malu miskin namun jujur, dari pada menggunakan segala cara agar kaya. Padahal sering cara yang dipilih adalah mendukung kegiatan pidana dan kriminal, namun  karena bisa membuat kaya, memperoleh penghargaan di tengah masyarakat. Kekayaan menjadi kehormatan, bagi orang yang tidak memiliki mutu hidup. Bagaimana spiritualitas hidup jika demikian?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *