Ustad Membuat Melayu Bodoh, Agama itu Candu, dan  Cara Beragama

Ustad Membuat Melayu Bodoh, Agama itu Candu, dan  Cara Beragama

Menarik, konon mantan Perdana Menteri Mahatir Muhamad mengatakan, jika ustadlah yang membuat bangsa Melayu bodoh. Ia menyatakan demikian karena mereka mendidik bangsa Melayu hanya memikirkan hidup setelah kematian. Takut neraka dan mempersiapkan bisa masuk surga. Sikap demikian itu membuat orang-orang itu mengabaikan sisi usaha dunia

Sejatinya pernyataan Perdana Menteri Malaysia tertua itu bukan satu-satunya menimpa bangsa Melayu, Barat juga dulu demikian. Bagaimana Gereja Katolik berabad-abad mengangkangi ilmu pengetahuan, kemajuan-kemajuan duniawi dihakimi dengan ilmu teologi dan Kitab Suci. Beberapa ilmuwan  mendapatkan hukuman dari Gereja.

Identik bukan yang pemuka agama lakukan di abad pertengahan di Eropa dengan keprihatinan Mahatir Muhamad ini? Sebenarnya kesalahannya bukan pada agama atau pemuka agamanya, namun pelaku atau tafsir atas cara beragama dari mereka-mereka ini.

Ilmu agama dan ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan bersaing namun sinergis, seperti rel kereta api, dua besi membujur di kanan dan kiri yang tidak akan pernah bertemu satu sama lain. Jika mereka berjumpa malah tidak berfungsi dan    bermanfaat.

Agama dan ilmu pengetahuan itu seiring sejalan, bukan saling meniadakan, atau saling menghakimi. Jika malah bersikap untuk saling memunggungi, tidak ada manfaatnya, malah membuat keduanya tidak bermanfaat, karena merusak satu sama lain.

Ranah teologi, agama, dan dunia surgawi mendasari ilmu pengetahuan, teknologi dengan ranah etis. Memanusiakan manusia, menghargai alam ciptaan, tidak mengorbankan sesama demi keuntungan sendiri. Manusia menjadi tujuan yang dibantu, bukan malah dikorbankan.

Memudahkan manusia, bukan malah mengeksploitasi keberadaan insan demi keuntungan pihak-pihak  tertentu.  Contoh, bagaimana vaksin diciptakan untuk membantu manusia hidup lebih sehat, tentu tidak malah membuat manusia harus menderita karena harga atau penderitaan yang ditimbulkannya.

Kemajuan  di dunia ini harus diupayakan, tanpa perlu intervensi terlalu jauh dari ilmu surga untuk menilai dan menghakiminya. Memberikan pertimbangan moral etis itu baik, namun tidak menjadi penghambat atau penghalang karena terminology abad lampau yang belium tentu kontekstual.

Jika demikian, bisa sinergis seperti diatas, dunia ini akan sangat maju dan berintegritas. Keduanya sinergis bukan saling meniadakan. Harmonis terjadi karena tidak ada yang memaksakan kehendak dan merasa lebih dari pihak lainnya.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan