Bangganya Jadi Katolik
Bangganya Jadi Katolik
Beberapa saat lalu, media, terutama media social disemarakkan dengan pembicaraan mengenai Paus Fransiskus. Mulai kesederhanaannya, kebersamaan dengan pemuka agama lain, atau ramahnya pada masyarakat, tidak semata yang Katolik. Tidak ketinggalan mengenai dekatnya pada anak-anak dan petugas yang sedang bertugas di bandara.
Suatu hari, pas naik bus umum, kendaraan itu penuh bahkan sesak. Ada momen di mana saya mendapatkan tempat duduk. Namun melihat ada ibu yang sedang mengandung, meskipun relative jauh, saya serahkan bangku itu untuk ibu tersebut. Ada bapak-bapak yang lebih dekat dan langsung menyerobot dengan dalih sama-sama bayar.

Saya menjawab, terima kasih, saya sudah cukup dengan keyakinan saya, tidak perlu dengan rapalan tersebut. Tentu dengan sangat terbuka dan ramah, si bapak juga tetap baik. Apa yang bapak tersebut berikan berkaitan dengan surat dari keyakinan lain.
Tentu hal ini tak hendak membandingkan agama atau kepercayaan. Hanya saja kunjungan Paus Fransiskus makin mengukuhkan iman yang tepat bagi saya. Begitu banyak ragam doa untuk Paus memperoleh hidayah, langsung membatin dan membandingkan, mengapa sih selalu “menyerang” piahk lain. Padahal tidak pernah ketemu akun saudara yang tidak seagama itu akan diserbu seperti itu.
Seolah tidak tenang jika tidak melibatkan diri dalam kegembiraan pihak lain. Ajaran agama yang hakiki adalah bergembira bersama yang sedang bahagia dan bersedih kala saudara berduka. Lha ini kog malah sebaliknya, kebahagiaan pihak lain adalah bencana baginya.
Jembatan. Imam Masjid Istiqlal dan Paus Fransiskus melewati Lorong atau jembatan silaturahmi, symbol harmonis antara Katedral Jakarta dan masjid Istiqlal, simbolisasi kerukuman umat beragama di Indonesia. Faktanya sering orang malah memisahkan, egoisme yang berlebihan, termasuk dalam beragama.
Apa yang dibangun, kebersamaan itu kadang diterjang oleh sikap picik, egois, dan mau menang sendiri. Salah satunya, menyerang akun atau pemberitaan sebagaimana disebut di atas. Sejatinya tidak banyak, namun berisik, sehingga seolah sangat besar. Padahal tidak demikian.
Rendah hati. Salah satunya adalah memberikan penghargaan pada pihak lain. Tidak malah menyerang dan mendoakan yang buruk-buruk. Model beragama apa jika membuat keadaan tidak baik dan damai?
Kebersamaan. Keberagaman yang bersama-sama, bukan seragam untuk bersama. Bhineka Tunggal Ika, yang sering diabaikan, karena cenderung agamis mayoritas yang dipakai. Lainnya salah, sesat, dan kafir. Miris bukan? Sering terdengar bahwa semua harus sama, seragam, pluralism haram, padahal bapak dan emak saja sudah beda toh?
Jadi Katolik itu bangga, bukan memalukan. Tidak perlu takut.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
