1000 Anak Palestina, Prabowo, dan Naturalisasi Timnas Sepakbola

1000 Anak Palestina, Prabowo, dan Naturalisasi Timnas Sepakbola

Presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki rencana menampung 1000 anak Palestina untuk sekolah di Indonesia. Cukup menggelikan, kecuali bicara politik identitas yang mau dijaga momentumnya. Sentimen Anti Israel dan peduli Palestina sangat empuk untuk menggelorakan semangat berbagai pihak di sini.

Nah, menariknya lagi adalah, ada sebagian pihak yang selalu saja teriak pelatih lokal, pemain lokal di timnas Indonesia. Respon atas pilihan PSSI dan STY selaku pelatih yang mengambil warga keturunan untuk memperkuat tim sepak bola Indonesia. Jumlah tidak sampai puluhan saja teriak-teriak. Bandingkan ini 1000, membeayai mereka, sekolah, hidup, dan tentu saja full tanggungan negara.

Beda dengan beasiswa untuk anak negeri, makan, pakaian, dan uang saku masih orang tua. Rumah milik orang tua, paling uang sekolah dan uang saku. Enak banget jadi anak Palestina. Jika dibandingkan dengan pemain timnas lebih parah lagi. Mereka memiliki skil, teknik, dan kemauan membela Indonesia, eh dimaki-maki.

Jauh banget responnya ketika anak Palestina, seolah itu perbuatan mulia, kalau pemain bola malah perbuatan jahat begitu? Berapa beaya untuk 1000 anak ini, untuk pemain timnas mereka bekerja malah. Wajar mendapatkan uang    saku, pastinya tidak akan lebih boros dari membeayai 1000 anak tentunya.

Aneh dan lucu kog hidup  berbangsa di negeri ini. Hal-hal yang baik dan menjanjikan malah jadi polemik, dimaki-maki, dan hal yang buruk, remeh-temeh malah diterima dengan suka cita. Apanya sih yang salah?

Pendidikan. Rela atau tidak, pendidikan kita tidak pernah  mengajarkan hal yang esensial. Hanya sekadar hapalan dan lulus atau naik. Ilmunya tidak banyak yang berdampak, apalagi hingga menjadi sebuah aplikasi dalam kehidupan.

Agama. Lagi-lagi ini identik. Beragama abai nalar, sama mereka lebih berpikir egoisme, kelompokku, kesamaan dengan aku. Sangat mungkin kalau pemain bola dari Arab, Palestina, atau Iraq mereka pada diam mungkin.

Suka menggibah dari pada belajar. Ribet dan ribut karena minim aktivitas, lebih banyak meribetkan dan meributkan hal yang sering tidak  penting. Wong memikirkan hal yang penting tidak mampu. Padahal sangat mungkin untuk bisa belajar, mengembangkan ilmu pengetahuan baru, dari pada hanya puas dengan apa yang sudah dimiliki. Hal yang tidak terurus di bidang pendidikan dan agama.

Keteladanan. Elitnya juga sami mawon. Suka mengurus hal remeh temeh dari pada hal yang mendasar. Salam diurusi, pemain lokal diperbandingkan dengan yang keturunan, padahal korupsi merajalela diam seribu bahasa.

Peduli sih baik, tapi juga tahu diri. Ada masalah yang perlu pemikiran, bukan hanya bicara mengenai Palestina yang jauh di sana. Populis bukan segalanya.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan