AHY Menang Lagi, Kali ini Yusril Kalah
Politis. Pernyataan Yusril yang mengatakan, kalau di mimbar akademik ini bisa diperdebatkan, didiskusikan, namun sebagai keputusan lembaga peradilan, ini adalah final dan mengikat. Tanggapan yang menggambarkan sisi demokrasi yang bagi AHY harusnya belajar banyak.
Lihat bagaimana Demokrat itu belepotan, secara kasat mata, ada anak-bapak sangat menentukan dalam mengambil keputusan. Jabatan ketua umum pemberian, bukan kader yang seperti amanat AD-ART, syarat minimal saja sudah gugur, keanggotaan sekian tahun.
Publik tentu masih ingat, bagaimana sebelum persidangan mereka, AHY dan anak buahnya melontarkan tuduhan kepada pihak Yusril bahkan personalnya, bukan sebagai pengacara. Mereka meradang dan menjual derita. Karena fee Yusril sebagai pengacara yang mereka anggap sangat mahal.
Padahal jika mereka ksatria, hadapi saja dan toh Mahfud MD juga mengatakan, susah Yusril menang, dan terbukti. Unsur politis sangat besar. Karena kalau kalah, si AHY dan SBY pasti akan tantrum guling-guling. Tantrum itu anak yang menangis berguling-guling karena keinginannya tertolak.

Poin besar untuk kebesaran Demokrat, dari pada menyerang bak babi buta. Menuduh ada yang membegal, Moeldoko, bahkan Jokowi kudeta, Yusril mata doitan, dan itu semua hanya bocah cengeng yang maunya selalu menang.
Pemimpin itu berjuang, bukan semata mendapat limpahan, hibah, dan sejenisnya. Pantas saja militer sepangkat mayor sudah “menyerah” untuk menjadi gubernur. Karena masih mentah, ide dan gagasannya juga mentah, gagal sejak dini. Pengalaman kekalahan bagi bocah memang tidak membawa pembelajaran.
Ya itulah, ketika pemimpin tidak mau kerja keras. Maunya mendapatkan durian runtuh, seperti SBY yang didaulat Demokrat untuk menjadi capres. Konteks dan waktu yang berbeda. SBY kudu belajar lagi, zaman berubah, kegagalan di masa pemerintahannya masih sangat jelas dan segar diingat publik.
Berkoar-koar sukses dan berhasil dan mementahkan capaian Jokowi hanya menjadi olok-olokan publik. Kasihan, di masa tua malah tidak terhormat karena pilihan politik obsesifnya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan