Bangsa Ramah, Berubah Negeri Marah
Belajar dari Sejarah
Sepagi ini, membaca beberapa tulisan, bahwa negara ini sekarang gampang marah. Padahal dulu terkenal sebagai bangsa yang ramah. Kisah pertama, mahasiswa ngaso di masjid malah dikeroyok sampai tewas. Kedua, guru SMP di Trenggalek dihajar karena menyita HP muridnya.
Hal ini mengingatkan pada kisah prajurit di NTT yang tewas karena dianiaya oleh para seniornya. Kisah-kisah tragis yang selalu saja terulang. Saat merenungkan bahan tulisan ini, melihat tetangga yang berselisih jalan dengan tetangganya mau mengantar anaknya TK, langsung balik kanan dan dianter. Inilah jati diri bangsa itu sejatinya.
Kekerasan dan Ketahanan Jiwa
Menarik, membaca kisah dalam novel Pramudya terlihat bahwa kekerasan itu terjadi karena tekanan yang tidak bisa tersalurkan dengan semestinya dan menjadi amuk. Miris. Dalam novel itu dikisahkan amuk petani atas parbik gula. Mereka pemilik lahan ditipu dengan sewa murah, dijadikan tenaga atau kuli pabrik yang tidak mereka nikmati. Terjadilah amuk.

Tekanan, antara realitas dan apa yang ditonton serta diharapkan itu berbeda. Lihat saja sinetron-sinetron menyajikan tayangan mewah, mobil ke mana-mana, makanan di atas meja makan yang berlimpah, pengusaha sukses, tidak ada yang tidak enak. Media sosial juga sebelas dua belas. Viral yang mendatangkan monetasi jutaan. Padahal tidak sesederhana itu untuk bisa mendapatkan uang gede.
Frustasi, ketika apa yang dihadapi dan dihidupi beda denga napa yang disaksikan. Wajar kalau sangat mudah membuat marah. Tidak berdaya, lha maunya mie gacoan yang antri berjam-jam, apa daya uangnya cuma mampu untuk beli mie ayam pinggir jalan? Sangat mungkin bawah sadarnya tidak terima.
Kesadaran yang masih rendah. Aksi dan reaksi itu ada jeda, kemampuan mencerna, marah sih normal, namun jika sampai amuk, rusuh, dan jarah, itu sudah abnormal. Ada yang salah. Dan sebagai bangsa keknya belum disadari. Masih dianggap seolah-olah baik-baik saja.
Luka batin, atau masa lalu yang masih belum terolah. Sering bangs aini tidak pernah menyelesaikan masalah. Sekadar menitup dengan kisah baru, sehingga meledak di kemudian hari. Sejarah yang terus berulang. Afrika Selatan dengan apartheid, sudah selesai, di Thailand kisah komunisnya sudah selesai, di sini malah sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Wajar jadi bangsa yang beringas. Contoh di depan mata, elit menjadi teladan untuk rusuh.
Pendidikan, orientasi pendidikannya sekadar ijazah dan gelar. Tidak berpikir soal kemampuan, bagaimana anak tumbuh, namun lulus, wisuda, dan gelar berderet. Mereka tidak mampu menjadi manusia, karena tidak memperoleh Pendidikan, adanya sekadar pengajaran. Mereka lulus ya sudah.
Nah, ketika masuk dunia kerja mereka bingung, tidak mampu, frustasi lagi, poin di atas. Terjadi lingkaran setan ini, amuk, marah, dan kekerasan.
Apakah ini yang akan menjadi bahan bakar, atau bekal untuk menuju Indonesia Ema situ? Jangan sampai kekhawatiran banyak pihak menjadi Indonesia cemas itu terjadi. Tidak sekadar meme, afirmasi, namun karena memang bekal yang ada, lebih banyak mengarah ke sana.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
