Kala “Lokalisasi” Pindah

Hari-hari ini pembicaraan mengenai kekerasan seksual mencuat dan memanas. Satu demi satu kota menyiarkan hal itu. Bandung, Cilacap, Riau, Jakarta, Trenggalek, dan Padang. Miris. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi lahan belajar malah berubah jadi arena maut bagi perempuan.

Beberapa tahun lalu,  kota-kota dan juga pimpinan daerah berlomba-lomba menutup lokalisasi dengan dalih demi  religiusitas.  Para pemandu sorak, pember ide, dan juga para pendesak, apakah pernah memikirkan dampaknya hingga kini?

Sempat ramai, adanya prostitusi online yang berharga wow, atau anggota dewan yang  melakukan penyamaran dan penggrebegan. Pun ada Pol PP di sebuah kota yang tertangkap bersama PSK konon lagi menyamar. Khabar-khabar yang seolah biasa saja bagi bangsa yang taat religius, ingat alasan penutupan lokalisasi.

Kampus, sekolah, pesantren, dan hotel sangat marak dengan fenomena kekerasan seksual juga perdagangan seksual. Jika dulu alasan klasik mengenai kebutuhan rumah tangga, ekonomi, dan menopang kehidupan.

Kini berbeda. Jauh lebih banyak karena gaya hidup dan demi memenuhi hasrat hidup hedonis dan konsumeris. Hal yang melanda hampir semua kalangan. Ini bicara mengenai pelacuran.

Lokalisasi

Hampir setiap daerah ada kantung-kantung baru yang sudah  bukan lagi lokalisasi. Kamuflase dengan warung kopi, karaoke, dan atau panti pijat. Bagaimana lokalisasi yang dimaksudkan untuk pembinaan dan penanganan lebih terkontrol semua lepas atas nama kesalahen sosial.

Mau mengatakan munafik, mosok sih tokoh agama dan pendidikan munafik. Fakta yang terjadi demikian. Bagaimana  keadaan bisnis selangkangan ini tidak pernah ada matinya. Setua peradaban manusia.

Memang hal ini masih semata asumtif, maraknya pemerkosaan, pelecehan, dan penutupan lokalisasi. Toh, suara-suara yang paling keras untuk menutup dulu, seolah tidak mau tahu dengan keadaan yang terjadi hari ini.

Ataukah mereka beranggapan tidak ada masalah dan korelasi?  Naif. Semua ada kaitannya. Apalagi jika  bicara mengenai standart ganda dalam banya segi hidup bersama sebagai bangsa. Kesalehan semata label dan hanya pada atribut. Esensinya jauh dari itu semua.

Giat beritual agama. Toh masih juga maling dan perilaku jahat lainnya tetap melaju.  Begitu banyak aksi dan keputusan namun abai evaluasi dan melihat kembali apa yang pernah diputuskan itu benar atau tidak, baik atau buruk, dan seterusnya.

Miris. Mengaku agamis, namun masih sebatas lamis. Perilaku hewani yang dipertontonkan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply