Guru dan Agama Pembuat Trauma, Apa Benar?
Menarik apa yang terjadi di Yogyakarta, kala seorang guru, pengampu mata pelajaran dan penanggung jawab BK malah membuat anak didik trauma. Si guru memaksa muridnya yang tidak mengenakan jilbab untuk memakai kerudung setiap ke sekolah.
Selalu saja terulang. Mengapa terjadi?
Pertama, pemahaman agama yang masih semata label, atribut, asesoris, dan hal yang tampak lahiriah semata. Padahal masih banyak keprihatinan lainnya berkaitan dengan keimanan atau agama. Contoh kalau Yogyakarta bagaimana menghadapi kenakalan remaja, terutama klithih. Ini sudah pidana dan sadistis.
Lebih gede juga bagaimana kejujuran bagi siswa-siswi itu dibina. Harapannya maling berdasi dan juga kecurangan dalam ujian, suap masuk sekolah favorit, atau jual beli buku ajar makin kecil. Atribut agama makin gede, tapi keburukan dan kejahatan juga masih demikian kuat.
Kedua. Agama semata banyaknya bukan mengenai mewarnai lingkungan dengan kebaikan. Bagaimana bisa seorang pengajar, BK lagi, memaksakan atas nama agama. Padahal semuanya sudah selayaknya adalah bicara kemerdekaan, kebebasan. Miris pelaku dunia pendidikan namun abai dasar filosofis pendidikan.
Ketiga, bagaimana si guru mempertanggungjawabkan kurikulum merdeka, jika hal demikian masih saja terjadi. Masih tidak yakin kalau si guru juga beragama dengan sangat baik, selain semata label atau asesoris. Contoh paling sederhana, jam kedatangan di sekolah atau kelas. Apakah masih sering terlambat atau sudah menjadi teladan kedisiplinan?
Belum lagi jika bicara mengenai hal-hal yang lebih gede. Soal kedatangan di sekolah atau kelas ini sepele. Bagaimana jika masih sering terlambat kalau ditanya mengenai tanggung jawab soal RPP dan kawan-kawan atau jika mengemban tugas pengelolaan uang.
Keempat. Perjuangan ideologis ultrakanan masih eksis. Pembubaran HTI dan kawan-kawannya masih mendua, sehingga mereka kini seperti kalap dan banyak yang nekat. Apalagi dimanfaatkan secara politis oleh para pelaku politik tanpa prestasi.
Kelima, penegakkan hukum pada ideolog ultrakanan yang masih kiwah-kiwih karena permainan politikus busuk. Ada sebuah kota yang mendapatkan gelar toleransi pendidiknya kegiatan moderasi beragama saja menolak mendengarkan pemaparan materi dari agama lain. Ini faktual. Bagaimana bicara penegakkan hukum ketika aksi moderasi saja sudah radikal.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan