Polisi Bukan di Bawah TNI atau Kemendagri, tapi Viral

Polisi Bukan di Bawah TNI atau Kemendagri, tapi Viral

Ada ide bahwa Polri kembali di bawah TNI atau Kemendagri, karena pengalaman soal pilpres dan pilkada. Hal yang wajar, apalagi si pemberi ide pada posisi berseberangan. Lugasnya, mendapatkan kerugian karena perilaku polisi yang mereka anggap berpihak pada sisi yang berseberangan.

Beberapa waktu terakhir, pihak kepolisian bertindak ketika  ada persoalan dan menjadi viral di media sosial. Minimal dalam waktu yang berdekatan ada dua kasus yang marak menjadi permbincangan publik, dan akhirnya mereka turun tangan.

Pertama, kasus penembakan polisi pada siswa sekolah menengah hingga tewas. Pihak kepolisian awalnya mengatakan pihaknya melakukan penembakan pada anggota geng remaja. Tentu saja pihak-pihak yang terkait dan kenal korban membantah. Lagi-lagi viral dan akhirnya pelaku ditangkap.

Kedua, sedikit lebih lama, ketika ada  bullying pada anak-anak, orang tua korban menindas balik si pelaku dengan memeragakan mirip anjing, lagi-lagi viral. Kali ini tidak cukup dengan meterai cemban, namun ujungnya ditangkap polisi.

Nah, bukan TNI atau Kemendagri bukan “atasan” polisi ini, namun viral. Tekanan media sosial yang mereka ikuti. Ironis dan ngeri jika demikian. Mengapa?

Kekuatan media sosial itu bisa diseting, makanya ada buzzer, pegiat media sosial yang bisa dibayar untuk membentuk opini publik, agar mengarahkan ke mana sebuah peristiwa mau dibawa ke mana. Sangat mungkin kejahatan malah lepas dan menjerat si baik, karena kekuatan modal untuk membentuk opini publik ini menang. Jika demikian kebenaran tergantung media dan siapa yang membayar.

Pemahaman dan sikap kritis masyarakat masih cukup memprihatinkan.  Masih begitu mudah diarahkan sesuai dengan kepentingan tertentu. Mengerikan jika demikian, karena siapa kuat dalam finansial atau kapital mereka bisa menguasai dan membentuk persepsi publik. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Pemahaman bacaan rendah, salah satu guru besar mengatakan, bahwa kemampuan masyarakat kita untuk memahami bacaan apalagi mengaitkan dengan bacaan lain sangat rendah. Wajar oleh pihak tertentu dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Terlihat dalam membuat tulisan, apalagi kalua berkomentar dalam media digital, terlihat kemampuan warga negeri ini masih rendah.

Jika memahami saja keliru, sangat mungkin dimanfaatkan dengan membentuk opini sesuai dengan kepentingan masing-masing. Lihat saja bagaimana hoax demikian mudah tersebar dan massif.

Celaka ketika yang viral  ini keliru, dan sudah menjadi pemahaman bahwa itu adalah kebenaran, dan polisi menindaklanjuti. Polisi tentu belajar dan tidak gegabah dalam menegakkan hukum. Pembelajaran bersama sebagai anak bangsa.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan