Kesejahteraan Guru ala Prabowo dan Perlindungan Hukum

Kesejahteraan Guru ala Prabowo dan Perlindungan Hukum

Pada HUT Guru 2024, Prabowo selaku presiden memberikan kabar gembira. Ada penambahan anggaran untuk membuat guru lebih sejahtera dan semangat. Angka tambahannya sangat lumayan. Apakah ini menjawab keprihatinan dunia Pendidikan?

Cara gampang alias potong kompas ya jelas.  Asumsi bahwa jika sejahtera, bahkan makmur, maka akan mengajar dan mendidik dengan semangat, penuh dedikasi, dan baik. Harapannya, hasilnya dari peserta didik akan menjadi meningkat dari pada yang sudah-sudah.

Sertifikasi keknya sudah berjalan cukup lama. Toh, dunia pendidikan tidak beranjak membaik, malah  cenderung menurun, dengan amatan dari hidup sehari-hari. Bagaimana anak-anak sekarang sangat minim dalam memahami persoalan sederhana, hitungan paling gampang saja masih harus berfikir, pengetahuan umum minim, dan seterusnya.

Jangan jadikan covid sebagai dalih atau pembenar atas kinerja buruk dunia pendidikan.  Selain gaji atau kesejahteraan, beberapa poin berikut yang merusak dunia Pendidikan;

Satu, ketakutan pidana, kriminalisasi atas sikap mendidik di sekolah. Aturan bodoh, istilah Gus Miftah, yang membuat guru jerih untuk mendidik anak sebagaimana mestinya. Takut dilaporkan polisi atau Komnas Anak dan Komnas HAM. Hal ini sering terjadi, cek saja melalui media pencarian. Paling baru dan viral ya kasus di Sulawesi.

Dua, aturan untuk tidak boleh tinggal kelas. Hal ini membuat anak seenaknya sendiri, merasa pasti akan naik, dan di tahun berikutnya, kekurangan yang ada akan terus bertambah. Hal konyol, semua perlu adanya hadiah dan hukuman. Anak yang malas, tidak mau usaha, ya tinggal kelas. Jika semua naik, anak paling nakal, malas, dan tidak mau tahu aturan pun naik kelas.

Kekurangan di kelas sebelumnya, yang belum tuntas akan bertumpuk dengan keadaan di kelas baru. Guru, yang     ketakutan di poin satu di atas makin tidak memiliki daya untuk mengubah anak “bermasalah” ini, dobel masalah.

Ketiga, dunia Pendidikan penuh dengan kepentingan. Politik, ideologi, dan juga “mafia”, jangan dikira pungutan ini dan itu bukan kerja mafia, tentu tidak dalam konteks sebagaimana dunia yang lain. Toh ini penyakit. Ideologi, baca agama yang dipaksakan dalam sekolah, sehingga anak lebih banyak berkutat dengan agama, bukan ilmu pengetahuan membuat keadaan lebih buruk.

Politik, dunia Pendidikan tergantung kebijakan politis, pun dihuni orang-orang politik. Menyusahkan lagi, belum lagi tiap ganti pemimpin, ganti pula kurikulum atau pendekatan Pendidikan. Ribet.

Empat, belum seriusnya negara memikirkan pendidikan. Pun rekrutmen pendidikan calon guru dan mengangkat guru.  Adanya sertifikasi, tidak meningkatkan mutu guru, namun malah menambah buruk. Mahasiswa keguruan membludak, kampus-kampus menerima calon guru dengan mudah, kadang seadanya.

Guru yang mengurus sertifikasi, sering meninggalkan kelas dan peserta didik. Guru-guru khusus, misalnya agama minoritas, bisa meninggalkan anak murid dan sekolah, demi mendapatkan jam mengajar sebagaimana tuntutan sertifikasi.

Gaji itu tidak serta merta akan memperbaiki mutu Pendidikan, jika tidak ada perbaikan di poin-poin di atas. Kelihatannya juga belum terpikirkan oleh para pemangku kebijakan.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan