Rendang Babi dan Politisasi Kuliner
Sejak pemerintahan Jokowi, politik identitas seolah menampilkan jati dirinya dengan sangat vulgar. Pembubaran ideolog kanan ini tidak serta merta menjadikan reda, malah seolah mereka meradang dan ngamuk. Usai pembiaran dan mendapatkan panggung untuk masuk ke semua lini, kini sikap tegas itu dijawab dengan aksi masif terutama melalui media sosial.
Rendang babi yang sudah tutup ini bukan persoalan remeh, namun mendasar ketika diulik dari sisi politis. Bagaimana politik identitas itu begitu kuat dan masif di negeri ini. pelakunya sebenarnya hanya itu-itu saja.
Bipang Ambawang beberapa waktu lalu demikian panas menyasar pemerintah. Beberapa menteri bahkan gagap untuk menjawab sebagai insan Pancasila. Pun dengan rendang babi ini. Khofifah langsung sidak, padahal sangat tidak kontekstual dan urgen. Berbeda jika itu adalah rendang bangkai, atau rendang hiu yang dilindungi, boleh seheboh itu.
Reaksi atas komentar masala rendang babi itu sangat politis. Lihat saja siapa yang memainkan dan menarasikan lebay. Orang dan lembaga yang itu-itu saja. Si ulama sudah minta maaf, jelas asumsi publik juga paham kog permainan ini.
Narasi dan masalah yang diangkat sih sepele, didengung-dengungkan oleh politikus, simpatisan ideolog ultrakanan. Pengulangan yang ujung-ujungnya juga gatot, gagal total. Karena pernah sukses dengan kasus Ahok. Kasus Ratna Sarumpaet. Kisah KM 50, dan bipang dan rendang babi, gagal total.
Publik makin cerdas. Dunia digital dan internet memberikan pembelajaran yang sangat signifikan. Rekam jejak para pelaku itu sudah dipahami dengan baik. Mirisnya mereka malah tdiak berusaha lebih baik, hanya mengulang, siapa tahu dapat simpati. Masyarakat belajar, namun elit hanya maunya mengulang saja. Hemat dan murah meriah mungkin.
Pelakunya identik. Oposan, barisan sakit hati, petualang agama-politik yang selalu buat gaduh. Mereka ini membuat keadaan tidak tenang, demi mendapatkan kekuasaan. Minim prestasi, hanya mampu membuat sensasi semata.
Pelaku kebanyakan orang yang memiliki kesempatan di masa lalu untuk memperoleh manfaat dan enaknya keadaan. Kini dengan kondisi yang berbeda, mereka meradang. Penggunakan politik identitas karena memang kondisi masyarakat masih banyak yang mudah terbakar emosi dan jiwanya ketika enyangkut agama.
Penegakan hukum yang masih tebang pilih dan tarik ulur politis memang membuat keadaan sangat susah. Apalagi aksi ultrakanan memang membawa keadaan itu demikian.
alam Penuh Kasih
Susy Haryawan