Rumah Makan Padang dan Perintah Prabowo tentang Perumahan
Rumah Makan Padang dan Perintah Prabowo tentang Perumahan
Prabowo memerintahkan Menteri Perumahan, Maruarar Sirait agar dalam perumahan tidak ada lagi aturan untuk kalangan terbatas. Ekslusifisme. Biasanya khusus agama tertentu dan menolak agama minoritas. Hal yang sebenarnya terjadi sangat lama. Terutama berbasis agama dan melarang yang berbeda agama membelinya. Kata Prabowo jangan ada negara di dalam negara.
Hal yang sebenarnya bukan barang baru, ada penolakan Kapolda karena beragama Kristen, cek Jenderal Listyo Sigit waktu mau jadi Kapolda Banten. Paling fenomenal ya jelas saja Ahok dengan etnis dan agamanya dijegal untuk menjadi DKI-1. Jangan lupa woiiii.
Eh kini, usia pemerintahan belum juga sebulan, sudah ada razia rumah makan dengan label khusus suku tertentu. Minang. Selain orang Minang tidak boleh jualan nasi Padang atau membuka warung Padang. Sektarianisme yang sejatinya identik dengan perumahan, makam, dan juga jabatan. Selama ini dibiarkan saja, dan seolah ada yang memanfaatkannya demi kepentingan sendiri.
Terbaru, pihak yang menghendaki penjual masakan Padang adalah hanya orang Minang menggunakan stiker dan lisensi bahwa sudah tersertifikasi dan otentik orang Minang. Jelas bahwa sudah ada upaya untuk mereduksi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk segelintir pihak demi kepuasan sendiri.
Mengapa bisa terjadi?
Pembiaran. Seolah biasa saja. Padahal itu sangat luar biasa, sama juga dengan asam sulfat yang diguyurkan dalam pondasi. Bangunan bisa ambruk karena tidak terlihat dasarnya keropos dan dihancurkan dengan cairan yang sangat korosif. Mosok sih pejabatnya pada tidak tahu? Jelas tidak mungkin. Karena memiliki afiliasi dan pemikiran yang sama, atau mendapatkan keuntungan darinya, sehingga mereka diam saja. Membiarkan itu semua.
Logika somplak. Selalu saja penyelesaiannya damai, salah paham, dan seterusnya. Padahal paham yang salah, namun karena diyakini dan disuarakan banyak orang, sehingga seolah-olah itu benar dan dijadikan rujukan bersama. Padahal kan tidak demikian. Kebenarannya ya harusnya dilihat dari falsafah bernegara yaitu Pancasila, bukan agama atau keyakinan pihak-pihak tertentu.
Lemahnya penegakkan hukum. Penegak hukum gamang dalam melihat persoalan, apalagi melibatkan pihak mayoritas. Sudah ngeper duluan, takut didemo bersilit eh berjilid-jilid atas nama penistaan agama. Hal yang terus saja berulang, dan ujungnya juga sama terus.
Negara tidak pernah hadir dengan segera untuk minoritas. Selalu saja gagap dalam melihat dan akhirnya menyelesaikan masalah demi masalah berkaitan dengan kasus kesukuan, ras, apalagi agama. Padahal jelas-jelas dasar negara bangsa ini Pancasila, bukan yang lainnya. Eh masih saja terus terulang. Ugal-ugalan dalam berbangsa seturut kepentingan sendiri.
Sedikit demi sedikit kesadaran itu mulai ada. Harapannya makin besar dan besar terus.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan