MK, dan Gibran Jadi Wakil Prabowo, Egoisme Politik

MK, dan Gibran Jadi Wakil Prabowo, Egoisme Politik

Palu telah diketuk MK untuk memutuskan mengenai batas minimal seorang capres atau cawapres. Satu yang paling menjadi sorotan adalah keberadaan Gibran, di mana dialah yang seolah menjadi alasan para pemohon untuk bisa meloloskannya menjadi salah satu kandidat dalam gelaran pilpres 2024.

Gembar-gembor Prabowo dan dukungan secara publik oleh partai Gerindra Kota Solo untuk mengusung Gibran sebagai cawapres ketumnya, seolah makin membuat putusan MK itu hanya karena demi membuat Walikota Solo itu bisa ikut menjadi peserta pilpres. Tudingan pada Jokowi yang begitu kuat bermain di balik itu semua, seolah kepentingan keluarga yang ada di sana.

Konsekuensi logis yang sangat berat bagi Jokowi dan legitimasi kepemimpinannya yang gilang gemilang, selama dua periode bisa musnah seketika jika terus demikian, tanpa ada aksi nyata untuk menjernihkan keadaan ini. Bola liar  yang terus menerus digoreng oleh Prabowo dan lingkarannya ini malah merugikan Jokowi yang telah berbuat banyak bagi negeri ini.

Gibran memiliki reputasi, prestasi, dan ketenaran lepas dari peran Prabowo, namun seolah malah Menhan ini yang berjasa atas keberadaan anak sulung Presiden Jokowi. Padahal sama sekali tidak begitu faktanya. Siapa yang lebih membutuhkan di sini? Prabowo bukan sebaliknya.

Ketenaran di media sosial terutama sangat baik dimiliki Gibran, bukan Prabowo, jauh sebelum menjabat kepala daerah, ia telah cukup familiar di media sosial. Menjawab caci maki dengan sangat elegan, itulah kunci ketenarannya, kecintaan publik padanya.  Hal yang membuat mantan Pangkostrad itu kepincut.

Tanpa Prabowo, ayah Jan Ethes ini bisa menjadi kepala daerah dengan sangat baik. Prestasi itu capaian pribadi, bukan sensasi atau karena  keberadaan siapapun. Hal yang malah dipertaruhkan jika bersama dengan Prabowo.

Mendongkrak kartu mati Prabowo yang sudah dua periode pilihan presiden selalu gagal, karena memang tidak pernah ada pembaruan sama sekali. Cara-cara berpolitik yang ketinggalan zaman, hanya mengandalkan keberadaan kroni dan keluarga.

Kini adalah politik prestasi. Visi misi baik untuk membangun negeri itu adalah kartu bagi politikus dan negarawan modern. Lihat saja Prabowo hanya meikirkan dirinya sendiri, dengan puja puji pada Jokowi, mengaitkan diri dengan Presiden ketujuh itu, malah juga membawa-bawa anaknya pula.

Bagaimana sifat egoistis demikian ini bisa menjadi pemimpin yang baik, benar, dan    besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Bandingkan dengan apa yang telah Jokowi lakukan selama ini, berbeda sangat jauh.

Merugikan pun bagi Prabowo tidak menjadi soal, nama baik Jokowi, Gibran, dan keluarganya sama sekali tidak menjadi pertimbangan mantan menantu keluarga Cendana ini sama sekali. Selain egois, ini juga sifat kanak-kanak, fokus pada diri dan kepentingannya saja.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan