Salawi itu Masih Ada
Salawi itu Masih Ada
Salawi, salahnya Jokowi itu kog masih ada terus. Aneh dan lucu saja narasi yang dibangun oleh politikus-politikus ini. Pastinya mereka ini pemain politik yang tidak punya prestasi, hanya menjual sensasi dan kehebohan ala-ala selebritas. Miris sebenarnya.
Apa buktinya?
Pertama, Gibran, Walikota Solo, yang juga sekaligus adalah anak Presiden Jokowi itu dicalonkan oleh pengurus Gerindra Surakarta, rekomendasi normal, lha kenapa Jokowi yang dituduh menempatkan anak-anaknya ke pentas nasional?
Kedua. Ikut cawe-cawe. Lha memangnya SBY dulu diam saja? Atau bertahun ini kan selalu menjual anaknya ke mana-mana, apa itu bukan cawe-cawe? Kog pada diam, termasuk pengamat politik dan LSM itu, kan pengamat dan LSM itu idealnya mengritisi semua perilaku yang tidak semestinya, bukannya hanya ketika Jokowi dipandang jelek baru ramai-ramai. Seolah SBY raja mahabenar, Jokowi salawi.
Ketiga, aneh dan lucu sebenarnya kan yang mau bertarung itu Ganjar, Prabowo, dan Anies, mengapa masih juga salawi? Cukup aneh sebenarnya. Memang pamor Jokowi masih cukup kuat, makanya ditarik ke sana ke mari, karena apa yang Jokowi katakan, dukungan dan arah pilihan itu cenderung diyakini menang sudah di depan mata.
Keempat. Politik miring ini entah mengapa masih saja dominan. Lihat saja sejak prapilpres 2014 kog begitu dominan dan masih kenceng. Lha dulu normal karena memang Jokowi sebagai kontestan. Lha sekarang kan tidak. Aneh dan lucu saja.
Kelima, sikap Jokowi yang Jawa banget memang menjadikan lahan subur orang-orang malas kerja keras ini. Mendiamkan dengan focus kerja-kerja, berbeda dengan sikap SBY yang dikit-dikit konpres, curhat, atau mengeluh baik langsung atau via medsos.
Diam itu emas ala Jokowi dimanfaatkan secara maksimal oleh orang-orang politik minim prestasi. Mereka maunya murah meriah, membuat narasi yang tidak bermanfaat, namun sangat membantu mereka.
Keenam. Demokrasi yang masih lemah, sikap tanggung jawab utamanya. Lihat saja membuat fitnah, hoax, dan bahkan penghinaan pada pemimpin negara saja seolah-olah adalah prestasi. Ini sangat memalukan sebenarnya. Tidak layak di negara demokrasi.
Perilaku negara beragama namun abai soal etika dan juga penghargaan atas kemanusiaan. Kekuasaan menjadi tujuan satu-satunya, tanpa mau tahu cara yang dilih, mau baik atau buruk, bukan persoalan.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan