FEATURED

Rambo vs  Sambo, Pilkada Jateng, Polri dan TNI

Rambo vs  Sambo, Pilkada Jateng, Polri dan TNI

Salah satu spanduk kampanye buruk ada di lapangan, tertulis Rambo vs Sambo. Hal ini mau menggambarkan bagaimana Rambo yang menyimbolkan Jenderal (Purn) Andika Prakasa, mantan Panglima TNI akan berhadapan dengan Achmad Luthfi bintang dua Polri, mantan Kapolda Jateng.

Mengapa ini buruk? Karena mendeskreditkan calon lain sebagai bagian dari pelaku tindak pidana, dalam konteks ini Sambo yang dihukum karena kasus pembunuhan ajudannya beberapa waktu. Mereka, Sambo dan Luthfi sama-sama anggota Polri, namun kan tidak ada kaitan sama sekali. Tentu si pembuat ini bukan parpol pengusung, namun relawan atau politikus yang mau membangun citra buruk pihak lain.

Kampanye hitam memang biasa dalam berpolitik. Namun jauh lebih elok jika dibangun dengan gambaran baik, prestasi yang telah ditorehkan, dan juga kinerja selama ini. Tidak pantas    menggunakan gambaran korp yang tercoreng untuk mengerek nama baik pihak yang didukung.

Apalagi jika bicara keluarga Sambo yang pastinya terluka dan sangat sedih. Sama sekali tidak membela perilaku jahat dan kejahatan, namun tidak ada kaitan Luthfi dengan Sambo, kecuali sama-sama polisi.

Lebih tepat, memberikan gambaran bagaimana kepemimpinan mereka selama ini. Benar, tidak bisa secara tepat memimpin lembaga militer dan kepolisian yang berciri komando dengan kepemimpinan kedaerahan atau sipil. Toh, secara dasar sama kepemimpinan itu. Capaian dalam  mengelola tanggung jawabnya pasti akan lebih bagus sebagai bahan kampanye.

Rambo, eh Andika Prakasa, katakan saja puncak karir itu jenderal bintang empat, itu capaian, bandingkan dengan Luthfi yang memperoleh bintang dua. Tidak aple to aple, membandingkan, pangkat keduanya, karena latar belakang yang berbeda. Toh jauh lebih baik dari pada bicara kejahatan yang sama sekali tidak dilakukan. Hanya memiliki suara dan rima yang baik semata.

Politik itu tidak sepenuhnya kotor. Pelaku-pelakunya yang kotor, bisa disadari untuk memberikan warna baik, bersih, dan seni dalam berpolitik. Selama ini hal tersebut jauh dari itu semua. Malah cenderung ugal-ugalan dan tampilan kekotoran yang cenderung dominan.

Politik membuang sampah di pekarangan tetangga lebih kentara dari pada sisi diplomasi dan juga konsolidasi dan itu adalah seni, kecerdasan, dan mentalitas baik. Perlu dibangun dan disadari kebaikan itu penting.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan