Golden Tiket RI-1 untuk AHY

Keren ini, amatan seorang pakar, bahwa AHY harus mendekati partai Demokrat Amerika Serikat agar mendapatkan tiket mulus untuk menjadi RI-1 di pilpres 24. Dasarnya adalah kesamaan nama dan mungkin tanpa disebutkan kemenangan di sana. Lha jika demikian, seperti PKS kapan punya presiden kan tidak ada partai keadilan di Amrik. Atau toh Jokowi juga jadi presiden meskipun tidak ada partai perjuangan dan banteng di Amrik.

Orang Jawa mengatakan ini othak athik gathuk, sebuah mengait-kaitkan hal yang seolah mirip, sama, identik, dan ada kesinambungan. Bisa iya, bisa juga tidak benar. Analisis atau harapan  sih boleh-boleh saja. Mau terjadi atau tidak, itu bukan menjadi prioritas penganut faham OAG ini. Apalagi  ketika hasil itu bisa dikalkulasikan secara ilmiah dan dasar-dasar sahih yang relatif mudah dilakukan bahkan oleh awam yang paling biasa sekalipun.

Apa kaitan Demokrat di Indonesia dan Demokrat di Amerika Serikat? Wong partai bukan waralaba pula. Kketika berbicara hegemoni kawasan dan global ala Ameerika Serikat, itu sudah tidak lagi sepenuhnya bisa berjalan, sebagaimana beberapa waktu lalu. Memang sempat, bahwa apapun yang Amerika Serikat lakukan, termasuk menempatkan presiden sesuai keinginan mereka, sangat mungkin.

Kini, hal itu jauh lebih sulit. Kondisi Amerika Serikat sendiri sedang tidak pada pusat kuasa.  Kepentingan global sudah berubah. Dulu, mereka adalah pemimpin dalam kaitan dengan minyak dan kekuasaan fokusnya demi mendapatkan itu. kini, keadaan sudah bergeser. Mereka bukan lagi memimpin sendirian di depan. Sekutu mereka pun sudah tidak sesolid dulu.

tiket

Kondisi dalam negeri juga payah. Tidak sedigdaya dulu lagi. Konsentrasi mereka terpecah, mau keluar, dalam bisa porak poranda, mau ngriwuki luar seperti dulu, konsekuensinya dalam bisa lebih kacau. Hal yang tentu saja prioritas bagi mereka. Luar cenderung lebih apatis dan berfokus pada kepentingan dalam negeri.

Jika benar kedekatan dengan Amerika Serikat akan membawa kemenangan dengan mudah, mengapa Prabowo yang sudah melakukan pendekatan, bahkan Fadli Zon ikut kampanye Donald Trump kala itu juga kalah. Tidak sesederhana itu ah.

Isu pilpres kemarin ada agenda luar yang berbicara. Toh masih juga tumbang. Susah menebak maunya orang Indonesia. Tidak sesederhana pemilih ala Barat yang tidak mengenal model lamis. Tidak ya tidak. Di sini sangat mungkin ya di depan, beda lagi pas di bilik suara.

Peta pemilih cerdas dan peduli di Indonesia juga meningkat. Kesadaran melihat pemimpin pekerja mulai naik dan percaya. Lihat angka pemilih naik pada pilpres lalu. Sentimen negatif yang dibangun semata riuh rendah pada tataran sosial media, bukan faktual. Angka pemilih pun berjalan demikian, berbeda dengan narasi pada media sosial.

Keadaan Demokrat sendiri tidak cukup menjanjikan berhubungan dengan kepentingan Amerika. Ingat Amerika berbuat apa itu dasarnya kepentingan. Tidak akan gratis dan sesuka mereka menempatkan orang misalnya. Suara mereka terus turun, tanpa ada upaya yang cukup menjanjikan untuk bisa membalikan keadaan. Bagaimana pemilih bisa menengok Demokrat.

Sebagian pihak akan mengatakan sebagai pembenar, toh dulu Demokrat juga bukan siapa-siapa bisa naik signifikan. Ingat ada SBY sebagai figur yang menjanjikan. Plus kursi presiden yang sangat terbuka untuk berbuat apa saja.  Dewan pun dari Demokrat. Wajar ketika Mubarok mengatakan akan jadi pemenang. Anak orok juga bisa mengatakan demikian dan terjadi.

Kini, kondisi Demokrat itu sangat tidak diperhitungkan. Pemilih enggan karena keberadaan AHY yang selalu dalam bayang-bayang SBY. Perlu dilihat, apa perkataan mereka berdua akan selalu diingatkan kepada Hambalang, katakan tidak pada korupsi, dan masa lalu yang belepotan.

Upaya mau menaikan posisi tawar selalu terbentur pada masa lalu. Belum ada usaha untuk melepaskan belenggu itu dengan cukup elegan yang bisa meyakinkan publik. Terlalu jauh sebenarnya jika bicara pilpres. Lebih realitis adalah pilkada DKI dulu.

Kendala psikologis pasti, karena pernah kalah, sebenarnya hal yang lumrah saja kalah dalam kontestasi politik. Jauh lebih keren jika berani mencoba lagi. Apa salahnya bukan? Masih ada waktu menjalin komunikasi pada pihak siapa saja yang kiranya mau memberikan satu slot cagub kepada AHY.

Ini modal penting, jangan sampai seperti pilpres 2019, proposal ditolak di mana-mana dan kemudian malah hanya menjadi penonton. Di luar arena dengan main dua kaki yang begitu vulgar, ini tentu saja akan dlihat oleh partai politik lain untuk berjaga-jaga jangan sampai kena separo kaki seperti yang sudah-sudah.

Sukses membangun Jakrta dengan gilang gemilang kurang lebih dua tahun, tentu jauh lebih realitis dari pada hubungan dengan Demokrat  Amerika Serikat. Ada dua pekerjaan besar dengan gagasan ini, yaitu mengajukan pilkada serentak 24 ke posisi semula di 22. Sangat tidak mudah.

Jika sudah berhasil, membangu relasi dan kemudian koalisi untuk bisa mendapatkan peluang bisa ikut pemilihan. Ingat suara Demokrat tidak cukup besar untuk bisa mendapatkan sekadar lirikan dari partai lain. Pekerjan besar dan berat namun ya harus dilakukan, jika memang mau maju pada pilpres. Tidak realistis bicara demokrat Amerika sebagai tiket emas menuju presiden 24. 

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply