Kreativitas, Dogma, dan Aturan

Kreativitas, Dogma, dan Aturan

Republic Indonesia memiliki Kementerian Ekonomi Kreatif, namun apakah benar-benar mampu bertindak kreatif? Mari kita lihat dengan kaca mata jernih, lepaskan kepentingan, dan terutama sensitivitas mengenai agama atau dogma. Lihat saja, banyak ide, gagasan, dan juga pemikiran kalah oleh doktrin paham tertentu.

Pengalaman pribadi, saya mengolah buah-buah yang tidak bernilai ekonomi, seperti kedondong, rambutan yang tidak bisa lepas dari bijinya, pisang kluthuk atau pisang batu, dan sejenisnya. Nah, iseng-iseng ke MPP, Mall Pelayanan Publik, mau mengurus NIB, eh masuknya kategori minuman keras, beralkohol, dan kudu level Kementerian. Tempat produksipun harus Kawasan industri.

Bergeser ke PLUT, Pusat Layanan Usaha Terpadu, berfikir akan mendapatkan sedikit pencerahan dan Upaya apa yang bisa dilakukan, ternyata malah lebih parah, karena dogma agama tertentu itu larangan. Mengapa tidak dibuat manisan saja?  Lha kreatifnya di mana woiii.

Bagaimana mau berpikir dan berusaha kreatif Ketika di mana-mana palang dan palak.  Dikit-dikit gak boleh, bukan karena aturan negara, namun masalah aturan agama tertentu. Lihat saja apa yang ada di lingkungan kita. Mirisnya, munafik dengan aturan yang tidak jelas. Pada satu sisi mereka juga menikmati dengan sembunyi-sembunyi.

Lebih memilukan, mereka minta uang sogok untuk urusan ini dan itu. Kreativitas terpasung karena pola pikir dan tindakan aparat yang memang sama sekali tidak mau susah, padahal kreatif itu tentu saja mau susah dan berjuang dengan sepenuhnya. Jangan  harap kreatif itu lahir dari nonaktivitas. Perlu berpikir, bekerja untuk melakukan, dan tentunya evaluasi dan mencari solusi atas hasil yang belum optimal. Apakah ini hal-hal yang dilakukan oleh para birokrat kita? Keknya enggak bukan?

Tentu saja kreativitas bukan musuh agama, namun ada ranahnya sendiri. Tidak bisa dong menghakimi daya kreatif dengan terminologi agama. Bagaimana bisa semua harus dipatahkan dengan argument agama? Padahal negeri ini memiliki azas sendiri, Pancasila, bukan agama. Toh juga ada konsumen dan pangsa pasar yang juga tidak kalah banyak.

Saya yakin begitu banyak yang mengalami nasib atau keadaan yang sama dengan pengalaman di atas. Kreativitas terpasung karena ideologi Sebagian pihak dan juga tidak adanya keberpihakan dari pemerintah.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan