Akhir Jokowi dan PDI-Perjuangan  

Akhir Jokowi dan PDI-Perjuangan

Miris, pada akhir, tepatnya menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, malah muncul bentuk penghinaan gaya baru. Bagaimana dikatakan,  tidak tahu diri, tidak berterima kasih, mencla-mencle, tidak sama apa yang dikatakan dan dijalani, atau kata-kata mbok sabar yang dulu begitu digandrungi.

Apakah ini sebuah aksi spontan? Kog naif rasanya melihat demikian masif status media sosial, tulisan-tulisan di media sosial, itu jika tidak ada upaya setingan.

Konon itu terjadi karena pilihan Jokowi untuk lebih dekat pada Luhut Binsar Panjaitan, LBP dari pada Megawati selaku ketua umum PDI-Perjuangan. Beberapa hal yang laik diulik lebih lanjut adalah sebagai berikut;

PDI-Perjuangan selaku partai pengusung utama Jokowi tidak pernah terdengar membela ketika ada serangan baik halus ataupun frontal kepada kadernya itu. Kapan mereka bersikap keras, lugas, dan jelas? Tidak pernah.

Namun, sering merasa paling berjasa, berkali ulang Megawati mengatakan sebagai petugas partai, tanpa PDI-Perjuangan Jokowi tidak akan jadi presiden, dan sejenisnya. Padahal klaim yang tidak cukup berdasar, benar mereka sebagai pemilik kader, juga pengusung utama, tanpa partai orang kayak apapun tidak akan bisa maju pilpres.

Toh, suara PDI-Perjuangan hanya sebagian pemilih Jokowi. Jauh lebih tepat, Joko Widodo memberikan andil untuk partai, bukan sebaliknya. Hal ini yang perlu elit dan partai banteng sadari, bukan sebaliknya seperti pemahaman mereka selama ini.

Prestasi Jokowi itu bukan karena partai, namun sebentuk pilihan dan keberanian dalam memimpin negeri ini. Lihat saja, bagaimana selama ini ia memimpin negeri, siapa yang bisa membantah dan menegasi capaiannya? Bandingkan dengan siapapun presiden RI, tidak akan dapat menyamainya.

Aneh dan lucu, jika benar PDI-Perjuangan di balik narasi ini, dulu, lawan-lawan politik yang mengina apapun keberadaan Jokowi, dan mereka diam, kini malah ikut-ikutan.  Padahal kader terbaik sekelas Jokowi belum juga mereka miliki.

Sering orang mengatakan, kacang lupa kulit, kalau kali ini adalah kulit lupa kacang. Merasa lebih berharga dari pada isinya. Lucu luar biasa. Bagaimana orang itu membeli mahal kacangnya bukan kulitnya.

Sejatinya sia-sia dengan sikapnya demikian. Jauh lebih tepat adalah sinergi, membawa kebersamaan, dan hilangkan caci maki. Miris   jika luka pilpres 14, pilkada DKI 2017, dan pilpres 2019 masih saja terjadi.

Politik dan demokrasi santun layak diperjuangkan, bukan hanya modal caci maki dan menangkan kursi. Prestasi itu kunci, bukan maki-maki.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan