Para Mualaf Belajarlah Agama Barumu, Bukan Mengupas Agama Lama, Salah Pulak

Para Mualaf Belajarlah Agama Barumu, Bukan Mengupas Agama Lama, Salah Pulak

Sangat menarik apa yang terjadi dalam dunia mualaf. Melihatnya online ataupun ofline. Sejatinya perubahan agama, atau pindah agama satu ke yang lain itu normal. Tidak ada yang aneh ataupun luar biasa. Hanya di sini, terutama kalau pindah dari Kristen apapun denominasinya ke Islam, yang lainnya keknya adem saja.

Padahal dari Islam ke Katolik terutama yang saya tahu secara nyata bisa ratusan. Paskah kemarin satu Gereja    saja ada 10 orang. Natal, waktu pembaptisan pula, jika dirata-rata sama, akan diperoleh kisaran 20 per tahun, jika 20 paroki ada berapa? Faktanya katekumen atau calon baptis dewasa dari Islam selalu ada. Padahal harus  melakukan pertemuan atau kelas sekitar 52 kali atau setahun penuh.

Kisah yang sama juga terjadi di paroki atau Gereja lain di mana mereka melakukan pembaptisan sebagai cara menerima anggota baru. Pelajaran atau katekese 52 kali pertemuan atau setahun itu seragam, semua demikian. Memang ada kasus khusus namun tidak semudah membalikkan telapak tangan atau hanya guyur air dan selesai menjadi anggota baru.

Beberapa waktu ini, begitu gencar adanya mualaf atau anggota baru Islam yang mendadak ulama atau ustad dan mengadakan ceramah. Hal yang wajar sebenarnya, yang aneh adalah sering isinya itu menguliti ajaran agama lamanya, namun keliru.

Atau entah dasar apa, ketika pengurus masjid membuat pengumuman bahwa ada orang yang mau bersyahadat dari Katolik menjadi Islam. Mereka menerima kemudian memberikan sumbangan hidup Rp 3.000.000,00, eh ternyata di masjid lain melakukan yang sama. Artinya orang mencari uang dengan gampang jutaan di kantong hanya dalam hitungan menit. Memilukan bukan?

Tayangan dan pembicaraan beberapa mualaf yang mendadak tenar, atau malah jadi ustad atau ustadzah yang malah asyik mengulik agama lamanya, sayangnya keliru. Jadi aneh dan kepikiran jangan-jangan mereka hanya mau menyenangkan audiennya, pemirsanya dengan kisah-kisah yang dia sendiri tidak paham.

Beberapa contoh. Mengaku anak uskup, padahal jelas-jelas uskup Gereja Katolik tidak akan punya anak. Atua ada yang mengaku bekas pastor Katolik, padahal usianya masih terlalu muda jika sudah tahbisan, punya anak lagi yang sudah lumayan gede. Contoh, anaknya umur empat tahun, dia mengaku 26 tahun, kapan dia tahbisan? Wong faktualnya tahbisan kisaran usia 28 baru bisa dan paling cepet.

Ada pula yang mengaku lulusan S3 Vatikan, padahal di Negara-Kota Vatikan sama sekali tidak ada kampus. Kampus berada di Kota Roma. Itu beda jauh dan memperlihatkan sama sekali tidak tahu hal-hal simpel namun mendasar. Lulusan Roma yang biasa dikenal bukan lulusan Vatikan.

Dua contoh lagi yang mau memperlihatkan mereka malah memperlihatkan sama sekali tidak tahu Kekristenan secara mendasar dan hakiki.

Pertama, mualaf perempuan yang mempersoalkan otentifikasi Alkitab, Injil yang konon bukan dari surga. Orang Kristen tidak pernah belajar bahwa Injil itu dijatuhkan brug dari surga, atau diberikan langsung oleh  Allah begitu saja. Itu adalah konsep Alqoran milik mereka, bukan keyakinan Kristen.

Orang Kristen mengimani bahwa Sang Sabda menjadi manusia, jelas dari surga namun bukan diserahkan brug begitu saja. Hal sederhana, namun keliru, pendengar dan pemirsanya manggut-manggut seolah-olah itu pencerahan luar biasa. Padahal keliru parah.

Ada yang kedua, laki-laki, mengatakan menjadi Islam karena merenungkan Injil bahwa Yesus makan, berarti dia manusia bukan Allah. Salah fatal. Sejak sekolah Minggu pasti diajari kalau Yesus adalah 100% Allah dan  sekaligus 100% manusia. Yesus makan karena Dia adalah manusia. Konsep Tuhan tidak makan dan minum itu milik tetangga sebelah, bukan kekristenan, lagi-lagi mau kritis namun keliru, fatal pula.

Anehnya, mereka ini maunya menguliti Kekristenan, namun malah membuka borok sendiri. Konsep agamanya tidak memperihatkan mengerti dengan baik agama lamanya, yang maunya dijelek-jelekan dan dipersalahkan, malah membuka kedoknya sendiri.

Jauh lebih bijak adalah belajar agama barunya dengan lebih baik, tekun, mendalam, dan rendah hati. Bagaimana bisa menerima iman dan hidayah yang baru, jika fokusnya menguliti, menjelek-jelekkan agama lama? Apa ada orang sudah kuliah namun masih saja bicara soal pelajaran SMA? Tidak ada bukan? Bagi yang waras dan normal.

Agama itu membawa kebaikan, jangan dikotori hanya sekadar mencari uang atau karena demi sensasi dan kontroversi dan menjadi viral. Sangat tidak elok. Berbahagialah dengan rumah baru yang diyakini lebih baik dan menjanjikan, tidak perlu mengutuki naungan lama yang dulu disayangi.

Kedewasaan yang hakiki akan menyimpan masa lalu dan menyongsong masa depan dengan harapan penuh. Tidak sebaliknya melongok masa lalu terus dan malah abai mempersiapkan masa depan.

Tentu artikel ini mau mengeluhkan perpindahan agama, sama sekali tidak, apa juga gunanya dengan mempersoalkan hal tersebut. Asal bahagia, penuh suka cita, dan harapan baik di kemudian hari mengapa tidak? Namun, jangan kotori hidayah yang bagus itu dengan hal-hal konyol dan memperolok bahkan memperlihatkan kebodohan, diajarkan pula, dan ditanggapi dengan semangat, padahal keliru.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan