Aku Bangga Menjadi Minoritas
Aku Bangga Menjadi Minoritas
Setiap kali mendengar perusakan salib, makam, atau persekusi hidup bersama pada pihak minoritas, jadi keingat dan sadar, bahwa saya juga sendirian. Hanya satu keluarga yang Katolik. Hidup bareng sih relatif aman. Sejak kecil sampai tua, perihal agama, jarang ribet secara langsung. Belum ada dalam hitungan jari sebelah tangan saja secara langsung menyoal agama. Sering secara tidak langsung.
Beberapa kisah faktual yang terdengar, sekarang ini, kami sedang mendampingi anak yang sampai kelas empat sekolah dasar namun membaca, apalagi berhitung masih termasuk parah. Setaraf kelas satu, dan kini dia bisa mengejar ketertinggalan temannya. Komentar teman dan tetangganya adalah gurunya Kresten, jangan diajak bermain. Namun si anak yang belajar dengan giat ini penuh semangat untuk datang dan belajar.
Semangat dan kehendak kuat untuk berubah menjadikannya maju. Kami juga ikut bergairah dan kata-kata yang menjengkelkan itu tidak lagi berpengaruh.
Cerita lainnya, dulu almarhum ibu itu kader Keluarga Berencana, bagian distribusi pil KB, nah mak-maknya menerima blister pil KB, anaknya yang balita sering ikut menjulurkan tangan. Nah untuk membuat anak tidak kecewa, diberilah roti atau permen, murah saja, bukan yang mahal atau mewah wong memang juga gak cukup keuangan kami waktu itu. Tahu tidak komentarnya? Nanti dikrestenkan. Masya Allah apa ada roti atau permen autobaptis???
Pas bapak meninggal, sore ibadat Gerejani, malah tahlilan tetangga yang Muslim. Semua aman, malah sepupu yang mengatakan doanya tidak sampai. Entah sampai mana, perlu ekspedisi macam apa, ada konsep seperti itu. Wong yang lain mau nyengkuyung dalam kebersamaan.
Pengalaman-pengalaman ini membentuk karakter beragama saya. Sendiri, tidak pernah takut, apalagi berpikir untuk pindah Haluan. Sama sekali tidak pernah terpikirkan.
Dasar dan kekuatan serta kebanggaan itu adalah keterlibatan dalam masyarakat. Ada kematian hadir, tahlilan ikut, kerja bakti hadir sepanjang ada waktu, keterbukaan pada sikap Masyarakat. Tidak mengajak berkelahi atas perilaku apapun yang terjadi. Sabar, tenang, dan tetap yakin di dalam iman.
Tidak pernah menyoal cara beragama pihak lain, meskipun sering disoal mengenai hal tersebut. Mengerti, memahami, dan menghormati, itu kuncinya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan