Anies Terbebani Utang Jokowi dan Paradoknya Demokrat
Anies Terbebani Utang Jokowi dan Paradoknya Demokrat
Menjelang 2024, yang terlihat paling panik adalah AHY dengan Demokratnya. Menghadapi putusan MK yang menyangkut pemilu secara umum. Lebih menggelisahkan itu hasil MA yang akan memutuskan kepengurusan Demokrat ke depan. Apakah AHY masih diyakini tepat, ataukah Moeldoko bersama jajarannya yang diakui kesahihannya.
Paradok yang dikemukakan oleh AHY ataupun SBY dan juga elit partai mersi loyalis Cikeas. Beberapa hal layak dicermati sebagai berikut:
Pertama, turun gunungnya SBY karena mendengar bocoran akan adanya kecurangan selama pemilu 24. Padahal SBY orang yang sama mengatakan jika pada sebelum 2019 yang berteriak curang itu biasanya pelaku yang sama, pernah melakukan. Hayo Pak Beye bagaimana ini?
Kedua, Jokowi, istana sebagai pihak yang akan dan sudah mulai menjegal pencalonan Anies Baswedan. Ini suara yang didengungkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan, padahal belum juga jadi sudah lewat tahun berganti padahal.
Mereka ini, menjegal diri mereka sendiri. Faktanya soal nama bakal calon wakil presiden saja belum kelar. Masih rebutan. Bukti lain, selain Nasdem belum ada yang deklarasi secara terbuka dan resmi. Artinya angka PT saja masih belum cukup untuk bergaya.
Ketiga, soal nama Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Ngaco paling lucu. Bagaimana tidak, fakta 83% penduduk yakin dengan capaian pemerintah. Artinya mereka menghendaki pemerintahan yang sama, bukan malah mengubah apa yang sudah baik. Hanya kurang dari 20% yang merasa tidak puas. Buat apa coba perubahan jika demikian?
Persatuan. Lha persatuan macam apa yang mau dicapai coba? Ketika narasi rasis, kebencian, tudingan, dan klaim semata. Ingat JK juga bagian dari itu, menyoal ekonomi dikuasai China, padahal ia juga peebisnis dengan etnis China. Menggoreng sentimen Ahok dengan menyebut suka ribut, lupa Ahok bukan maling anggaran.
Keempat. Utang. Apa ada orang yang maau menanggung utang pihak lain, jika tidak tahu dengan baik ada apa di balik itu. Hayo ngaku tidak siapa yang ngebet nyapres berkali-kali dan meksa ala AHY, Anies Baswedan, dan kelompoknya, dibandingkan Jokowi.
Paradoksal itu seolah adalah prestasi. Padahal itu semata sensasi yang tercipta oleh produk gagal. Capaian, prestasi, keberhasilan itu esensi untuk bukti pemilih tidak salah. Kerja keras dan cerdas itu penting bukan sekadar narasi.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan