Arep Piye Meneh, Mau Apa Lagi?
Arep Piye Meneh, Mau Apa Lagi?
Kisah Lain di Balik Bhakti Awam Pamit
Awal bulan beberapa hari lampau telah menulis mengenai SMA Kanisius Bhakti Awam yang pamit. Ada rekan yang mengusulkan menuliskan dengan versi yang berbeda. Jika kemarin berkaitan dengan sebab-sebab eksternal, kini hendak melihat dari sisi internal, termasuk Yayasan dan Gereja Katolik secara umum.
Dulu, masa kejayaan Yayasan dan sekolah Katolik itu dikenal dengan Pendidikan karakternya. Kedisiplinan, kejujuran, dan prestasi. Ini bukan berbicara mengenai masa lalu dan hanya hidup dalam kejayaan lampau, namun sebuah refleksi mengapa bisa tergilas zaman.

Gereja dan Tarekat
Miris, jika mendengar, bagaimana kadang iri dan tidak mau tahu, jika penggembala itu beda tarekat dengan pengelola sekolah atau yayasan. Sebaliknya pun demikian, karena merasa ordo, serikat, atau tarekat mereka lebih gede dari pastor paroki yang menjadi gembala mereka, juga enggan untuk “merasa” sebagai bagian utuh atas yurisdiksi kegembalaan dari paroki yang bersangkutan.
Self of belonging, atau rasa memiliki, menjadi sumir, saling melemahkan, bukannya nyengkuyung. Padahal seharusnya berkolaborasi semua lini, bukan malah saling menggerogoti. Peduli, empati, dan mendukung apa yang menjadi visi, misi, dan praktek dunia Pendidikan demi mencerdaskan bangsa.
Kolaborasi bukan Kompetisi. Selama ini seolah Yayasan-yayasan itu berkompetisi, bukannya berkolaborasi memberikan pendidikan yang terbaik untuk negeri ini umumnya, dan pastinya Gereja. Belum lagi jika bicara bisnis. Orientasi yang berbeda tentu saja, karena pendidikan tentu tidak murah. Namun, bukan juga menjadi pembenar untuk menjadikan bisnis dunia pendidikan.

Duduk bersama seluruh pemangku kebijakan dalam Pendidikan Katolik. Masing-masing tingkat, yayasan, perwakilan guru-karyawan, pastor paroki atau komisi pendidikan keuskupan, mau membawa sekolah Katolik macam apa di tengah gempuran dari berbagai sisi ini. Hal yang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin.
Lha arep piye maneh, lha mau bagaimana lagi itu kog seolah tidak ada harapan, alternatif solutif, namun pasrah bongkokan, bukan pasrah dalam iman. Sejarah Bhakti Awam sangat mungkin sudah kukut, namun jangan sampai sekolah dan yayasan Katolik lain ikutan tutup layar, karena tidak dikelola dan ditangani dengan semestinya. Ahli-ahli pendidikan, manajemen, komunikasi public banyak yang bisa diajak rembugan untuk nyengkuyung keberadaan sekolah-sekolah yang jaya pada zamannya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
