CV Bio Tirta Merasa jadi Kambing Hitam atas Konflik Lingkungan oleh PT Juwara Satoe
CV Bio Tirta Merasa jadi Kambing Hitam atas Konflik Lingkungan oleh PT Juwara Satoe
Pengadilan Jakarta Timur menyidangkan perkara antara CV Bio Tirta yang di gugat oleh PT Pia Juwara Satoe karena dianggap wanprestasi atas kerja sama mereka. Suhendra selaku konsultan pengolahan limbah dituntut membayar 1.3 milyar atas kerugian materi dan immateri dari perusahaan salah satu anak usaha dari Skin Care Natasha Grup, Yogyakarta.
Direktur PT Pia Juwara Satoe, Ravid S. Haryon, melalui kuasa hukumnya dari Equitable Law Firm, menyatakan bahwa perusahannya rugi karena turunnya kepercayaan konsumen dan warga sekitar dengan angka kerugian material Rp. 356,67 juta dan immaterial sebesar Rp. 1 milyar.
Suhendra dari CV Bio Tirta menegaskan bahwa pihaknya telah melaksanakan kewajiban dan tugasnya sesuai dengan prosedur dan perjanjian yang telah disepakati.
“Konflik” yang berujung ke pengadilan ini sebenarnya berawal dari adanya pemeriksaan oleh Dinas Lingkungan Hidup Sleman. Dinas turun tangan karena adanya laporan dari warga bahwa sumurnya tercemar oleh limbah perusahaan di dekat rumah mereka.
Tindakan pihak yang berwenang adalah, memeriksa sumur warga dan terbukti memang ada cemaran yang berdampak pada keberadaan sumur masyarakat. Rekomendasi dari Dinas adalah adanya unit pengolah limbah. Selama ini hanya sumur resapan yang berpengaruh pada keberadaan sumber air.
Atas temuan dan masalah tersebut, selaku konsultan Suhendra menawarkan rancangan IPAL, Instalasi Pengolah Limbah dengan kapasitas 60m3 per hari, berbeda dengan permintaan manajemen yang menghendaki hingga 200 m3 per hari. Meski pada awalnya konsultan merasa itu berlebihan, toh dilaksanakan sebagaimana permintaan pihak klien. Hingga hari ini, pertengahan Februari pengolahan itu hanya kisaran 30 m3 per hari. Inefisien. Proyek IPAL mulai beroperasi pada Oktober 2023.
Pada awal pengopreasian keluhan tidak ada. Malahan penemuan dari hasil pemeriksaan DLH memberikan angin segar karena mutu air buangan dari IPAL sudah memenuhi baku mutu lingkungan. Namun, entah dari mana muasalnya, tiba-tiba muncul keluhan warga bahwa timbul bau dari pabrik jajanan legenda Yogya itu.
Konsultan mengatakan, bahwa dalam kontrak layanan IPAL itu tidak ada kewajiban menangani masalah “bau”. Toh, sebagai bentuk layanan dan tanggung jawab moral, Suhendra menyatakan bahwa mereka tetap berupaya mengurangi bau dengan memasang karbon aktif di ventilasi, meninggikan pipa ventilasi, dan mengoptimalkan proses pengolahan air limbah yang memang tanggung jawab perusahaannya.
Repotnya, bahwa upaya tersebut “terganggu” dengan kebijakan supervisor pabrik yang melakukan penyedotan padahal bakteri yang digunakan untuk pengolahan air limbah tersebut belum sepenuhnya berkembang dengan optimal. Padahal ini masa krusial dalam pengolahan air limbah.
Klien meminta pihak konsultan untuk menelusuri adanya bau. Demi pembuktian tersebut, CV Bio Tirta menerjunkan tim ke lingkungan sekitar. Bau itu tidak sepenuhnya benar, “Mungkin hanya bau sesaat, bukan menetap atau lama”, kata Suhendra.
Selaku konsultan Suhendra mengatakan, hal ini sebenarnya tanggung jawab pabrik yang memiliki usaha dan berkaitan dengan lingkungan, termasuk warga untuk memberikan kompensasi, bukan malah menuntut konsultan yang sudah berhasil menghilangkan cemaran di sumur sebagaimana awal kerja sama dibangun. Pihak CV Bio Tirta merasa dijadikan kambing hitam jika demikian.