Al Jabbar, Ironi Masjid di Jawa Barat

Al Jabbar, Ironi Masjid di Jawa Barat

Baru-baru ini ramai pembicaraan mengenai utang Pemrov Jabar, yang salah satunya anggaran Pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar. Rumah ibadah yang menghabiskan anggaran hingga 1 trilyun lebih. Luar biasa, sebagai sebuah tempat ibadah mampu menampung puluhan ribu jemaat sekaligus.

Mengapa ironi?

Pertama, sering terdengar, dan termasuk di Jawa Barat,   penolakan pendirian rumah ibadat bagi kaum minoritas. Eh ini ada rumah ibadah yang dibangun super megah, mewah, dengan anggaran fantastis lagi.

Dua, berkaitan dengan point pertama di atas, jika Pancasila sebagai azas berbangsa, pembuatan gedung gereja, vihara, atau sejenisnya harusnya sangat mudah. Ingat Gereja Yasmin di Bogor bukan? Sampai 15 tahun. Itu bukan soal uang dan harus utang.

Tiga, bisa dicek, bagaimana keberadaan dan keterisian gedung-gedung  peribadatan itu, khususnya masjid, berapa banyak yang terisi dan tidak. Kecuali Jumatan, atau masa puasa. Buat apa sih masjid raya dibangun besar dan banyak? Tentu ini bukan soal penghinaan agama, namun bicara efisiensi, utang lagi.

Empat, dana sebegitu besar bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih berdaya guna secara langsung. Membangun jembatan di pelosok, sekolah, Puskesmas, pendidikan, santunan  untuk anak-anak putus sekolah, sekarang bisa untuk Progam Makan Siang Gratis, dan aksi social lainnya.

Lima, kecenderungan berpikir sebagai kepala daerah memiliki legasi dengan membuat “monumen.” Salah satu yang paling gampang dan popular ya masjid. Menyenangkan  masyarakat kelompok mayoritas.

Enam, kembali bicara Pancasila, seharusnya membangun semua gedung  atau rumah ibadat semua agama yang diakui UUD di Indonesia. Tidak hanya satu dan dengan dana yang wow seperti itu. Lha urusan izin saja mejen, apalagi uang?

Tujuh, hal ini mencerminkan bagaimana memahami falsafah bernegara saja gamang. Terlalu vulgar jika mengatakan gagal. Pembayar pajak itu seluruh warga negara, namun mengapa uangnya mengalir ke arah yang  tertentu yang lain tidak?

Delapan, terlalu banyak elit negeri ini memunggungi Pancasila, namun dianggap seolah benar dan baik-baik saja. Padahal ketika sumpah dan janji menjadi pejabat negara itu Pancasila dan UUD 45. Ke mana itu dalam pelaksanaan dan melakukan jabatan sehari-hari?

Apakah akan terus begini?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan