Polemik Bodoh ala Gus Miftah
Polemik Bodoh ala Gus Miftah
Masih cukup ramai pembicaraan mengenai pernyataan Gus Miftah, Staf Sus Presiden yang mengatakan pedagang es teh bodoh. Pro dan kontra mengenai hal itu. Pihak yang pro mengatakan, bahwa itu adalah candaan, bentuk keakraban dari pemuka agama dengan jemaatnya.
Pihak yang merasa kontra menilai bahwa hal itu adalah arogansi, kebiasaan buruk, maaf mulut bosok, dan seterusnya. Berseliweran video lama Gus Miftah yang konon nama aslinya Ta’im, yang memperlihatkan dan mau mengatakan bahwa perkataannya itu adalah tabiatnya. Salah satu yang masih hilir mudik adalah yang “menyandain” Yati Pesek untuk jelek, kalau cantik pasti jadi lonte, atau pelacur.
Pernyataan para pembelanya mengatakan lagi-lagi itu adalah candaan khasnya Gus Miftah. Hal yang lumrah dan wajar. Hal yang tidak wajar, ternyata Ibu Yati Pesek mengatakan, bahwa ia masih sedih, malu, dan terhina dengan “candaan” tersebut. Artinya, hal ini tidak dinilai sebagaimana yang dinyatakan oleh pihak yang “membelanya.”
Saya yang pernah menjadi guru, dalam kondisi yang harus “memaki” karena murid itu menanyakan hal yang sama, belum ada semenit, mau mengatakan goblok saja tidak tega, karena memang tidak boleh dan juga tidak biasa. Jika keluar begitu saja dan mudah, malah dibarengi ngakak berjamaah, berarti bisa disimpulkan atau ditafsirkan sudah biasa, atau kebiasaan.
Akhirnya mengundurkan diri dari jajaran kabinet sekarang ini, namun polemik belum berhenti. Cenderung masih sama kuat antara yang memihaknya atau menolaknya. Mengapa bisa demikian?
Tidak terbiasa berbicara mengenai esensi, hanya berbicara pro dan kontra. Padahal ada yang mendasar, bahwa buruk ya buruk saja, dan baik itu ada standartnya. Jangan karena sepihak kemudian apapun yang dilakukan dan dikatakan semuanya benar dan selalu betul. Tidak demikian. Ada standar atau batasannya. Universal, bukan karena kesamaan sesuatu.
Tidak terbiasa mengatakan salah adalah salah, benar adalah benar. Malah cenderung berkebalikan, fatal ketika itu pada ranah hukum, dan sudah terjadi. Ngeri jadinya. Membolak-balikkan fakta seolah korban padahal pelaku dan sebaliknya. Ini biadab
Mudahnya kata maaf, namun tidak ada ketulusan, karena faktor mencari aman dan nyaman diri dan kelompoknya. Hal ini karena iman dan teologi kanak-kanak yang masih takut hukuman dan mendamba hadiah. Kedewasaan tidak demikian.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan